Selasa 21 Sep 2021 19:00 WIB

Kisah Guru Honorer Tua Menghadapi Soal PPPK

Kepala Sutardi error duluan saat membaca soal yang panjang.

Rep: Bayu Adji P/ Red: Ilham Tirta
Peserta mengikuti tes seleksi PPPK (Ilustrasi).
Foto: Antara/Destyan Sujarwoko
Peserta mengikuti tes seleksi PPPK (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, TASIKMALAYA -- Sutardi (58 tahun) tetap mengikuti seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di SMKN 1 Manonjaya, pekan lalu. Padalah, guru honorer asal Kecamatan Bojonggambir, Tasikmalaya itu akan pensiun dalam dua tahun mendatang.

Ia tetap semangat karena seleksi PPPK adalah kesempatan untuk memperbaiki penghasilannya. Upah sebagai guru yang diterimanya selama ini dirasa tak cukup untuk menghidupi keluarganya.

"Sekarang upah saya itu 250 ribu rupiah per bulan, menghidupi empat anak. Tiga hari juga langsung habis," kata dia saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (21/9).

Sutardi yang kini mengajar di SDN Timuhegar, Kecamatan Bojonggambir sudah menghonor sejak tahun 1988. Empat tahun kemudian, ia pernah mencoba bekerja di perusahaan untuk menambah penghasilan.

Bekerja di perusahaan ternyata tak membuatnya bahagia, meski penghasilannya memuaskan. Alhasil, pada 2003, Sutardi memutuskan kembali menjadi guru meski berstatus honorer.

"Karena jiwa saya memang di pendidikan. Walaupun upah di perusahaan memuaskan, karena jiwa saya di pendidikan, saya balik lagi (jadi guru)," ujar lelaki lulusan S1 Tarbiyah Institut Agama Islam Cipasung itu.

Untuk mengakali penghasilan yang tidak cukup, Sutardi juga membuka usaha jahit. Ia mengaku usaha itu selama ini dapat menambal kekurangan keluarganya.

Sutardi mengaku sudah lebih dari tiga kali mengikuti seleksi CPNS. Namun, upaya itu tak pernah berhasil. Adanya seleksi menjadi PPPK untuk formasi guru tentu tak mau dilewatkan. Meski ia mengakui soal dalam seleksi PPPK terlalu sulit untuk dikerjakannya.

"Itu kan waktunya dibatasi, soalnya panjang, jadi waktu habis untuk membaca soal. Jawabannya juga panjang. Jadi untuk menjawab susah banget, karena sudah error di kepala. Apalagi sudah tua," kata dia. Meski begitu, dia berharap dapat lolos seleksi PPPK itu.

Sutardi berahap, pemerintah bisa menghargai pengalaman kerja para guru honorer yang sudah puluhan tahun mengajar. Seharusnya, kata dia, para guru honorer yang sudah puluhan tahun mengabdi tak perlu lagi mengikuti seleksi PPPK.  

"Jadi ada penghargaan kepada guru. Apalagi, saya ini masih punya anak yang baru kelas 4 SD. Sementara dua tahun lagi pensiun," kata dia.

Sementara itu, salah seorang guru honorer di SDN 2 Ciamis, Ajat Sudrajat (46), juga mengikuti seleksi PPPK pekan lalu. Ia sengaja ikut seleksi PPPK untuk mengubah nasib.

"Karena upah guru honorer ini sangat terbatas. Saya juga ingin mendapatkan upah yang layak, jadi mengabdikan ilmu juga lebih semangat," kata dia.

Ajat mengaku sudah menjadi guru sejak 2007. Namun, saat ini penghasilannya sebulan sebagai guru hanya Rp 600 ribu. Karenanya, ia harus mencari tambahan penghasilan dengan mengajar di lembaga bimbingan belajar.

Pada 2009, Ajat sebenarnya pernah mengikuti seleksi CPNS di Kabupaten Garut. Sebab, ketika itu tak ada formasi untuk guru dalam seleksi CPNS di Kabupaten Ciamis. Di Garut, ia harus bersaing dengan sekitar 400 peserta untuk memperebutkan 4 kuota sebagai guru. Alhasil, ia harus tersisih dan kembali ke Ciamis.

Meski upah sebagai guru honorer sangat minim, Ajat menilai pekerjaan itu sangat membuatnya bahagia. Karenanya, ia tetap bertahan menjadi seorang guru. Ironisnya, saat ini penghargaan kepada profesi guru dari pemerintah masih sangat minim.

Ia berharap, para guru honorer yang sudah berumur dan lama mengabdi dapat menjadi PPPK tanpa perlu ikut seleksi. Sebab, seleksi yang dilakukan saat ini cukup menyulitkan, apalagi untuk guru yang sudah berumur.

Ajat mencontohkan, ketika mengikuti seleksi, banyak kendala teknis yang dialaminya seperti komputer error. Alhasil, konsentrasinya menjadi terganggu.

Selain itu, soal-soal yang harus dikerjakan banyak menggunakan model Higher Order Thinking Skills atau HOTS. "Jadi lumayan makan waktu untuk analisis," kata dia.

Beruntung, untuk guru honorer yang berusia di atas 35 tahun mendapat nilai afirmasi sebanyak 15 persen. Ajat salah satu yang mendapatnyanya. Menurut dia, nilainya apabila ditambah afirmasi sudah melewati passing grade.

Ia berharap nilai afirmasi dapat ditambah ke depannya. Sebab, banyak teman-temannya yang tak melewati passing grade meski sudah ditambah afirmasi.

"Kalau sekarang kan hanya 15 persen afirmasinya untuk usia 35 ke atas. Itu terlalu sedikit. Seharusnya masa kerja juga dihitung, bukan sekadar umur. Jadi yang di bawah 35 yang sudah bekerja lama juga terbantu," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement