Jumat 17 Sep 2021 19:22 WIB

Mengenali Potensi Berbahaya Varian Mu dan Varian C.1.2.

Penguatan sistem surveilans harus terus dilakukan antisipasi varian baru.

Pemerintah diminta terus mewaspadai varian baru virus corona. Saat ini dua varian baru yang baru mengemuka adalah varian Mu dan varian C.1.2.
Foto: CDC via AP, File
Pemerintah diminta terus mewaspadai varian baru virus corona. Saat ini dua varian baru yang baru mengemuka adalah varian Mu dan varian C.1.2.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Fauziah Mursid

Ragam mutasi Covid-19 terus diteliti agar bisa diantisipasi sifatnya. Saat ini varian baru yang muncul adalah varian Mu dan varian C.1.2.

Baca Juga

Untuk varian Mu, ahli epidemiologi dari Universitas Andalas Defriman Djafri mengatakan varian ini memiliki potensi untuk menghindari kekebalan tubuh. "Varian ini memiliki mutasi yang memiliki potensi untuk menghindari kekebalan oleh infeksi atau vaksinasi sebelumnya," kata Defriman, Jumat (17/9).

Defriman yang juga Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia Cabang Provinsi Sumatra Barat menuturkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) sedang memantau varian Mu. Ia menuturkan varian Mu pertama kali diidentifikasi di Kolombia dan sekarang setidaknya terdeteksi di 39 negara.

Menurut Defriman, hasil dari suatu kajian di Jepang mengatakan terdapat netralisasi yang tidak efektif dari varian Mu terhadap plasma konvalesen dan vaksin. Ia menuturkan varian Mu masih tergolong variant of interest (VoI), dan ada kemungkinan untuk masuk ke Indonesia.

"Mobilitas terus berjalan pada saat pandemi, sangat memungkinkan varian ini bisa muncul jika protokol kesehatan masyarakat dan sistem surveilans yang tidak jeli dalam mendeteksi ini," ujarnya.

Defriman menuturkan upaya yang harus dilakukan pemerintah adalah meningkatkan kewaspadaan agar varian tersebut tidak masuk ke Indonesia. Selain itu, penerapan protokol kesehatan di tengah masyarakat juga harus ditingkatkan dan diawasi.

Penguatan sistem surveilans harus dilakukan, dan sampel saat ini juga harus segera secara berkala dianalisis melalui pengurutan keseluruhan genom (whole genome sequencing), agar cepat mendeteksi dan mengambil langkah-langkah pengendalian yang komprehensif. Hingga sekarang ini, varian yang masuk daftar VoI adalah varian Eta, Iota, Kappa, Lambda dan Mu.

WHO mengklasifikasikan suatu varian virus SARS-CoV-2 sebagai VoI dengan kriteria yakni varian tersebut memiliki perubahan genetik yang diperkirakan atau diketahui mempengaruhi karakteristik virus seperti penularan, keparahan penyakit, pelepasan kekebalan, pelepasan diagnostik atau terapeutik. VoI juga diidentifikasi sebagai penyebab penularan komunitas yang signifikan atau beberapa klaster Covud-19, di banyak negara dengan prevalensi relatif yang meningkat bersamaan dengan peningkatan jumlah kasus dari waktu ke waktu, atau dampak epidemiologis nyata lainnya yang menunjukkan risiko yang muncul terhadap kesehatan masyarakat global.

Selain varian Mu adapula varian baru yang terdeteksi yaitu varian C.1.2. Peneliti mikrobiologi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan Varian C.1.2 virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 tidak lebih berbahaya dari VoI atau VoC yang sudah diklasifikasikan Badan Kesehatan Dunia.

"Varian C.1.2 statusnya saat ini adalah alerts for further monitoring sejak 1 September 2021 dan sebetulnya boleh dikatakan tidak lebih berbahaya dibandingkan dengan varian yang sudah diklasifikasikan sebagai VoI/VoC," kata peneliti Sugiyono Saputra, Jumat.

Hingga sekarang ini, katanya, varian yang masuk daftar VoI adalah varian Eta, Iota, Kappa, Lambda dan Mu. Sementara varian yang masuk dalam VoC adalah Alpha, Beta, Gamma, dan Delta.

Sugiyono yang merupakan Ketua Tim Whole Genom Sequencing (WGS) SARS-CoV-2 di Pusat Riset Biologi BRIN menuturkan varian C.1.2 memang memiliki perubahan material genetik yang diduga dapat mempengaruhi karakteristik virus. Seperti mutasi pada protein spike yang berhubungan dengan tingkat penularan atau transmisi dan penurunan efektivitas vaksin atau terapi.

"Tetapi sekali lagi tidak perlu panik berlebihan karena walau varian ini memiliki mutasi-mutasi kunci, bukti dampak fenotipik atau epidemiologisnya sebetulnya belum jelas," ujarnya.

Sugiyono mengatakan masih perlu pemantauan lebih lanjut sambil menunggu bukti ilmiah baru terkait karakteristik varian C.1.2. "Semoga saja tidak semakin berkembang dan tidak dinaikkan statusnya oleh WHO menjadi VoI/VoC," ujarnya.

Saat ini, varian C.1.2 yang diidentifikasi pertama kali di Afrika Selatan, belum masuk ke Indonesia. Berdasarkan informasi yang dihimpun dari laman WHO, WHO bekerja sama dengan mitra, jaringan pakar, otoritas nasional, lembaga, dan peneliti telah memantau dan menilai evolusi SARS-CoV-2 sejak Januari 2020.

Selama akhir 2020, munculnya varian yang meningkatkan risiko kesehatan masyarakat global mendorong karakterisasi VoI dan VoC tertentu, untuk memprioritaskan pemantauan dan penelitian global, dan pada akhirnya untuk menginformasikan respons yang sedang berlangsung terhadap pandemi Covid-19. WHO mengklasifikasikan suatu varian virus SARS-CoV-2 sebagai VoI dengan kriteria, yakni varian tersebut memiliki perubahan genetik yang diperkirakan atau diketahui mempengaruhi karakteristik virus, seperti penularan, keparahan penyakit, pelepasan kekebalan, pelepasan diagnostik atau terapeutik.

VoI juga diidentifikasi sebagai penyebab penularan komunitas yang signifikan atau beberapa klaster Covid-19 di banyak negara dengan prevalensi relatif yang meningkat bersamaan dengan peningkatan jumlah kasus dari waktu ke waktu atau dampak epidemiologis nyata lainnya yang menunjukkan risiko yang muncul terhadap kesehatan masyarakat global. Sementara VoC adalah varian yang telah terbukti terkait dengan satu atau lebih perubahan berikut pada tingkat signifikansi kesehatan masyarakat global, yakni peningkatan penularan atau perubahan yang merugikan dalam epidemiologi Covid-19; peningkatan virulensi atau perubahan presentasi penyakit klinis; atau penurunan efektivitas kesehatan masyarakat dan tindakan sosial atau diagnostik yang tersedia, vaksin, dan terapi.

Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengatakan ketahanan masyarakat saat ini perlu menjadi perhatian dalam penanganan Covid-19. Alasannya ketahanan tubuh masyarakat dibutuhkan selama Covid-19 belum berakhir.

"Karena kita perkirakan Covid-19 ini belum tahu kapan akan berakhir, obat yang menyembuhkan juga masih belum diketemukan, karena itu kita arahnya kepada ketahanan masyarakat ya," ujar Wapres dikutip dari akun Youtube Sekretariat Wakil Presiden, Jumat (17/9).

Wapres mengatakan, menjaga ketahanan masyarakat adalah salah satu upaya memperkecil risiko dari Covid-19. Upaya ini kata Wapres, sesuai dengan ajaran agama agar menghindarkan dari bahaya, yakni virus Covid-19.

"Memperkecil risiko yang ada atau bahasa di pesantren namanya bahaya itu harus dihilangkan, kalau bisa dihilangkan, menghilangkan bahaya itu menjadi kewajiban. kalau tidak paling tidak meminimalkan, memperkecil bahaya itu," ujarnya.

Wapres mengatakan, upaya meningkatkan ketahanan masyarakat salah satunya melalui vaksinasi untuk mempercepat kekebalan kelompok atau herd immunity masyarakat.  Karena itu, ia mendorong percepatan vaksinasi seluruh masyarakat demi tercapainya target kekebalan kelompok.

Selain itu, Wapres juga meminta vaksinasi dibarengi dengan pola hidup bersih dan sehat serta terus menjaga protokol kesehatan. Yakni melalui upaya-upaya penerapan protokol kesehatan, tetap menggunakan masker, cuci tangan, dan jaga jarak.

"Kita ingin memasuki satu situasi yang baru, yaitu situasi yang kita sebut sebagai sehat dan produktif. Karena, itu pemerintah meminta walau sudah divaksin tetap menjaga prokes," katanya.

photo
Vaksin Johnson & Johnson - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement