Kamis 16 Sep 2021 11:31 WIB

Opini Bias Susaningtyas: Teroris tak Nyanyi Lagu Kebangsaan

Ciri teroris menurut Susaningtyas adalah tidak menyanyikan lagu kebangsaan.

Opini ngawur dari Susaningtyas yang menyebut ciri teroris tidak menyanyikan lagu kebangsaan.
Foto: Republika/Mardiah
Opini ngawur dari Susaningtyas yang menyebut ciri teroris tidak menyanyikan lagu kebangsaan.

Oleh : Abdul Rachman Thaha, Anggota Komite I DPD RI

REPUBLIKA.CO.ID, Survei di Amerika Serikat menyimpulkan, 2 dari 3 warga negeri Paman Sam tidak hapal lagu The Star-Spangled Banner. Tapi apakah itu berarti bahwa mayoritas warga Amerika adalah teroris dan kader teroris? Tentu tidak.

Faktanya, banyak warga di sana yang menentang segala bentuk perang dan intervensi militer Amerika Serikat di negara asing. Justru karena yang melakukan invasi adalah militer Amerika, dan personel militer diasumsikan hapal lagu kebangsaan mereka, maka justru orang-orang yang hapal lagu kebangsaan adalah para pelaku state terrorism dan penjajah. Tentu ini simpulan ngawur yang bisa dibangun kalau opini ngawur ala Susaningtyas dijadikan acuan berpikir.

Tidak hapal nama-nama parpol

Direktur Politik Dalam Negeri Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri mengatakan, angka partisipasi pemilih pada Pemilu 2019, hanya sebesar 81,93 persen. Kemudian, pada Pilkada 2020 hanya 76,09 persen. Bahkan bukan hanya tingkat partisipasi masyarakat dalam Pemilu yang terus anjlok. Animo untuk mengawasi Pemilu pun, menurut pengamat politik Ahmad Taufan Damanik, mengalami penurunan.

Indikator Politik Indonesia menemukan, kurang dari 50 persen warga yang percaya pada partai politik. Mengapa masyarakat Indonesia semakin tak bergairah dengan perpolitikan nasional? Merujuk riset UGM, penyebabnya adalah sosialisasi politik yang majal, institusi politik yang porak-poranda, dan betapa masyarakat merasa bahwa kepentingan-kepentingan mereka tidak diperjuangkan oleh parpol.

Jadi bisa dipahami, ketimbang menafsirkan tidak hapal nama parpol sebagai ciri teroris, hilangnya parpol dari ingatan kolektif masyarakat adalah buah dari centang-perenangnya eksistensi serta kerja parpol selaku representasi masyarakat. Celakanya, ketika publik menemukan media-media baru sebagai kanal aspirasi dan kepentingan politik mereka, yaitu media sosial dan mural misalnya, sebagian pihak justru melakukan pembungkaman. Antara lain lewat upaya kriminalisasi, terhadap anggota masyarakat yang kritis terhadap rezim.

Pada sisi itulah Susaningtyas, selaku politikus yang acap bergonta-ganti seragam parpol, patut mawas diri. Apa yang ia dan parpolnya kerjakan selama ini sampai-sampai dilupakan masyarakat, sebagaimana anggapannya sendiri? Jangan-jangan tak lebih dari sekadar membangun istana oligarki yang di dalamnya para elite asyik dengan diri mereka sendiri dan membiarkan masyarakat gigit jari.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement