Jumat 10 Sep 2021 14:46 WIB

Penjelasan RSLI Surabaya Terkait Pasien dengan CT Value 1,8

Rendah atau tingginya nilai CT value bisa dipengaruhi alat dan metode PCR.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Agus Yulianto
Penanggung Jawab Rumah Sakit Lapangan Indrapura (RSLI) Laksamana Pertama TNI I Dewa Gede Nalendra Djaya Iswara (kedua kiri), Dokter Spesialis Patologi Klinis Fauqa Arinil Aulia (kedua kanan), Dokter Spesialis Paru Nevy Shinta Damayanti (kiri) dan Dokter Spesialis Bedah Agus Hariyanto (kanan) memberikan keterangan pers terkait temuan mutasi virus corona di Surabaya, Jawa Timur. (Ilustrasi)
Foto: ANTARA/Moch Asim
Penanggung Jawab Rumah Sakit Lapangan Indrapura (RSLI) Laksamana Pertama TNI I Dewa Gede Nalendra Djaya Iswara (kedua kiri), Dokter Spesialis Patologi Klinis Fauqa Arinil Aulia (kedua kanan), Dokter Spesialis Paru Nevy Shinta Damayanti (kiri) dan Dokter Spesialis Bedah Agus Hariyanto (kanan) memberikan keterangan pers terkait temuan mutasi virus corona di Surabaya, Jawa Timur. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Dokter Penanggung Jawab Pelayanan Rumah Sakit Lapangan Indrapura (RSLI) Surabaya, Fauqa Arinil Aulia menjelaskan terkait hebohnya temuan pasien Covid-19 yang memiliki nilai CT value rendah, yakni 1,8. Pasien yang dimaksud merupakan Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Jawa Timur yang kembali ke kampung halamannya.

Fauqa mengatakan, rendah atau tingginya nilai CT value pasien Covid-19 bisa dipengaruhi alat dan metode PCR. Dia mengatakan, teknologi kedokteran terse berkembang dan asing-masing metode yang digunakan, bisa mempengaruhi tinggi atau rendahnya nilai CT value pasien Covid-19.

"Kalau ada angka, itu kita baca dulu. Hasil ini diperiksa dengan instrumen apa, laporannya apa. Kalau CT value 1,8 yang kemarin heboh itu, alatnya itu isotermal PCR," ujarnya di Surabaya, Jumat (10/9).

Fauqa menjelaskam, ada beberapa jenis tes PCR, seperti RT-PCR (reverse transcription PCR) dan iiPCR (insulated isothermal PCR). Teknik spesifik yang digunakan pada kedua pemeriksaan ini berbeda. RT-PCR temperatur yang digunakan pada proses amplifikasi gen target bersiklus-siklus. Sementara iiPCR temperaturnya cenderung konstan (isothermal).

Fauqa mengatakan, sampel pekerja migran yang memiliki nilai CT value 1,8 tersebut karena diperiksa menggunakan metode iiPCR. Menurutnya, jika CT value mereka senilai 1,8 pada metode iiPCR, kemudian dikonversi dalam satuan yang ada pada metode RT-PCR, hasilnya berada di angka 20 ke bawah.

"Jadi 1,8 itu bukan CT value. Itu index ratio. Kalau di bawah 1,1 itu negatif, kalau 1,8 itu positif, makanya kami terima di sini. Berikutnya monitoring dengan alat di sini," kata dia.

Sebelumnya, Penanggung Jawab RSLI Laksamana Pertama dr. Ahmad Samsulhadi menyatakan, pihaknya terus mencermati pasien Covid-19, khususnya pekerja migran yang baru kembali dari perantauan. Dia menyatakan, untuk penanganan pasien PMI, pihaknya sangat antisipasif. Terutama terkait kemungkinan munculnya varian baru Covid-19.

"Karena kami menemukan nilai CT value 1,8 pada satu pasien, sampai saya tanya dan konfirmasi ke dr. Fauqa, ini nilai CT value-nya 1,8 atau 18? Mohon swab PCR-nya di ulang, karena pasien ini sudah dirawat 12 hari," ujar Samsulhadi, Rabu (8/9).

Setelah diulang lanjut Ahmad, ternyata nilainya memang masih 1,8. Pihaknya juga memberi perhatian terhadap beberapa pasien PMI yang sudah 10 hari dirawat, tapi nilai CT value-nya masih di bawah 15. “Ini fenomena baru dan masih kita tindak lanjuti. Karena fenomena yang aneh, saya sudah meminta dr. Fauqa untuk menindaklanjutinya.” ujar Samsulhadi

Dia mengakui, fenomena yang ada di RSLI akhir-akhir ini memang menemukan pasien Covid-19 dengan CT value extreme, dan masih pada angka yang sangat rendah. Padahal teorinya, pada varian lain, progresnya baik, CT value akan naik. Bahkan hari ke 13 sudah negatif.

"Sedangkan sekarang ini kok malah kebalikannya, minggu kedua seperti mulai kembali terserang, dengan indikasinilai CT value yang masih rendah, di bawah 25 bahkan di bawah 5," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement