Kamis 09 Sep 2021 18:57 WIB

Stigma tak Logis di Pernyataan Bahasa Arab Ciri-Ciri Teroris

Stigmatisasi negatif terhadap bahasa Arab itu sangat merugikan dan tidak logis.

Pernyataan pengamat intelijen, Susaningtyas Nefo Kertopati, tentang bahasa Arab sebagai ciri-ciri terorisme sangat tendensius, provokatif, tidak berdasar. Foto: Ilustrasi seorang santri menulis aksara Arab di sebuah papan bahasa.
Foto:

Oleh : Muhbib Abdul Wahab, Wakil Ketua Umum IMLA Indonesia, Ketua Prodi Magister Pendidikan Bahasa Arab FITK UIN Jakarta

Bahasa Arab itu superkeren

Selain sesat dan menyesatkan, logika tersebut juga merupakan bentuk stigmatisasi negatif terhadap bahasa Arab sebagai bahasa paling sempurna dan paling mulia di dunia. Stigmatisasi bahasa Arab melalui framing dan penggiringan opini yang jahat ini jelas dilatarbelakangi oleh ketidakpahaman terhadap ajaran Islam. Stigmatisasi ini juga menunjukkan “alam bawah sadar” penuduhnya bahwa dia cenderung anti Islam atau terpapar Islamofobia.

Padahal, bahasa Arab itu superkeren. Karena bahasa Arab merupakan satu-satunya bahasa yang mendapat garansi pemeliharaan dari Allah SWT (QS al-Hijr [15]:9), karena dipilih sebagai bahasa kitab suci yang multimukjizat. Tidak hanya isi dan pesannya yang sarat mukjizat, tetapi penggunaan bahasanya, mulai dari diksi, redaksi, gaya bahasa, keserasian kata dan maknanya juga sarat mukjizat, sekaligus menjadi bukti bahwa Islam itu agama yang benar berasal dari Allah SWT.

Menurut Said Nursi, dalam al-Mu’jizat al-Qur’aniyyah, bahasa Alquran itu strukturnya luar biasa apik dan fasih. Gaya bahasanya indah, puitis, dan menyentuh hati. Makna huruf, kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacananya luas dan dalam.

Redaksi dan retorikanya sangat logis dan efektif. Diksi dan narasi kalimatnya sangat singkat, padat, lugas, berterima, dan bermakna. Bahasa Alquran itu menunjukkan universalitas yang superkeren, baik dari segi lafal, makna, dan ilmunya maupun gaya bahasa dan pancaran cahaya keagungan-Nya.

Sekadar contoh, mengapa Allah menggunakan diksi “hatta zurtum al-maqabir” (QS at-Takatsur [102]:2), bukan “dakhaltum” atau “dufintum”, padahal umumnya diterjemahkan “hingga kamu masuk ke dalam kubur”, bukan berziarah ke pekuburan. Di antara rahasia penggunaan diksi tersebut adalah kata “zurtum” itu berkonotasi kesementaraan, tidak abadi. Maksudnya, manusia berada di alam kubur itu hanya sementara, semacam alam “transit” menuju alam akhirat, sedangkan kata dakhaltum (masuk) atau dufintum (dikubur) tidak mengandung arti kesementaraan, sebagaimana orang berziarah yang tidak akan selama-lamanya berada di tempat yang diziarahinya.

 
Stigmatisasi negatif terhadap bahasa Arab itu sangat merugikan dan tidak logis, bahkan berpotensi memecah belah anak bangsa.

Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa rumpun Semitik --penggunanya tersebar di Timur Tengah, Afrika Utara dan Afrika Timur-- yang paling tua, paling dinamis, dan paling kaya kosakata. Dibandingkan dengan rumpun Semitik lainnya, seperti bahasa Aramea (Aramaik) yang hampir punah atau Bahasa Ibrani (Hebro) yang cenderung menjadi bahasa ekseklusif komunitas Yahudi, bahasa Arab mampu beradaptasi dengan perubahan zaman, sehingga kosakata yang dimilikinya terus berkembang. Dalam kamus terbesar, Lisan al-‘Arab, bahasa Arab memiliki lebih dari 80.000 akar kata dan 12.300.000 kosakata.

Sebagai salah satu bahasa resmi PBB sejak 1973, penutur bahasa Arab berjumlah lebih dari 467 juta orang, menjadi bahasa resmi lebih dari 22 negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika. Dalam perspektif geolinguistik, bahasa Arab juga termasuk paling berpengaruh di dunia karena sebagian besar bahasa dunia “meminjam” kosakata dari bahasa Arab.

Kata azan, salat, zakat, haji, imam, makmum, mimbar, benara, kubah, rakyat, masyarakat, dewan, majelis, rukun, adil, makmur, umur, sukuk, makzul, saham, madrasah, akbar, takabur, tamak, tarif, dan sebagainya (sekitar 10 persen dari kosakata dalam KBBI) adalah kata serapan dari bahasa Arab. Artinya, bangsa Indonesia “berutang budi” terhadap bahasa Arab karena kosakatanya banyak diserap dan dipinjam darinya “tanpa pernah dikembalikan”.

Fakta sosial historis menunjukkan bahwa sebagian besar pendiri RI, pahlawan nasional, dan guru bangsa adalah figur teladan yang menguasai bahasa Arab. Agus Salim, KH Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, Mas Mansur, Wahab Hasbullah, Kahar Muzakkir, Buya Hamka, Abdurrahman Wahid, M Quraisy Shihab, Ma’ruf Amin Wapres RI saat ini, dan sebagainya adalah tokoh nasional yang fasih berbahasa Arab. Apakah etis dan masuk akal, mereka yang menguasai bahasa Arab “dicap” sebagai teroris?

Menurut data Direktorat Pondok Pesantren Kemenag RI, santri, siswa, dan mahasiswa yang mempelajari bahasa Arab di Indonesia merupakan jumlah terbesar di seluruh dunia. Karena jumlah pesantren di Nusantara lebih dari 12 ribu dengan santri di atas 5 juta.  

Jika ditambahkan data Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, madrasah berjumlah 82.418 buah, plus PTKIN dan PTAIS dengan jumlah pelajar dan mahasiswa lebih dari 10 juta, maka jumlah yang mempelajari bahasa Arab  di Indonesia diperkirakan lebih dari 15 juta orang. Apakah hanya karena belajar bahasa Arab mereka lalu distigmatisasi teroris?

Masuk akalkah mereka warga Indonesia melupakan bahasa Indonesia karena belajar bahasa Arab? Walhasil, stigmatisasi negatif terhadap bahasa Arab itu sangat merugikan dan tidak logis, bahkan berpotensi memecah belah anak bangsa. Karena itu, pengurus dan anggota IMLA (Ittihad Mudarrisi al-Lughah al-‘Arabiyyah) atau Ikatan Guru dan Dosen Bahasa Arab se-Indonesia dengan lebih dari 10.000 anggota sangat menyesalkan pernyataan dan stigmatisasi tersebut.

Sebagai pelajaran terpetik (lessons learned), siapapun perlu berkonsultasi dan berdiskusi dengan ahlinya sebelum menyampaikan pernyataan di ruang publik. Semoga pernyataan pengamat itu hanya keseleo lidah saja. Dan, kita semua pasti mendambakan keadaban, kearifan, dan kesantunan dalam berkomunikasi yang berbasis dan bersemi dari hati tulus dan pikiran positif.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement