REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Rita Pranawati, mengatakan, keterbatasan pemahaman orang tua tentang anak dan pengasuhannya menjadi pekerjaan rumah saat ini. Di masa pandemi, kata dia, anak kerap menjadi sasaran empuk pelampiasan emosi orang tua.
"Di masa pandemi itu perempuan saja mengalami triple burden dari situasi awal. Dari situasi triple burden itu sasaran yang paling empuk yang ada di rumah itu, yang relasi kuasanya tidak setara, yaitu anak," ujar Rita lewat pesan suara, Selasa (7/9).
Berdasarkan data yang Republika peroleh dari laman resmi KPAI, tahun 2020 kekerasan terhadap anak mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya. Untuk korban kekerasan fisik, dari jumlah 157 anak pada 2019 menjadi 249 anak pada 2020.
Kemudian anak yang menjadi korban kekerasan psikis pada 2019 berjumlah 32 anak. Pada 2020, jumlah itu meningkat menjadi 119 anak. Peningkatan jumlah di tahun-tahun tersebut juga terjadi pada anak korban kekerasan seksual, dari 190 anak menjadi 419 anak.
Melihat itu, Rita menyatakan, kasus-kasus kekerasan fisik dan psikis yang dialami oleh anak tidak semuanya terlaporkan. Kasus-kasus yang dilaporkan itu, kata dia, biasanya kasus yang memiliki dampak besar. Rita melihat data yang tersaji itu ibarat fenomena gunung es, di mana korban yang masih anak-anak tak mampu melapor.
"Di era pandemi 2020 saja misalnya, kita ketemu data bahwa orang tua juga melakukan kekerasan baik memukul, menginjak, dan kekerasan psikis lainnya. Itu diakui oleh orang tua karena situasi pandemi itu kan luar biasa ya," jelas dia.
Rita mengatakan, salah satu pekerjaan rumah untuk mengatasi hal tersebut ialah membenahi keterbatasan pengetahuan orang tua tentang pengasuhan anak. Berdasarkan data yang ia miliki, tahun ini hanya ada 33,8 persen orang tua yang pernah mendengarkan materi terkait pengasuhan.
"Kita hanya ketemu 33,8 persen orang tua yang pernah mendengarkan tentang pengasuhan, yang sebelumnya 25 persen. Itu juga menjadi PR sebenarnya," kata dia.
Dia mengatakan, untuk mengatasi hal tersebut pemerintah semestinya terus melakukan upaya sosialisasi kepada masyarakat tentang tempat mana saja yang dapat dijadikan sebagai tempat mengadu. Selain itu, pemerintah juga harus membangun keyakinan masyarakat bahwa korban akan mendapatkan pendampingan.
"Membangun keyakinan agar korban mendapatkan pendampingan dan dapat mendapatkan perlindungan saksi dan korban," kata dia.
Selain itu, pengedukasian terhadap keluarga juga menjadi salah satu persoalan pokok yang harus dibenahi oleh pemerintah. Lalu, Rita mengatakan, komunitas-komunitas juga perlu dibangun kesadarannya akan pemenuhan hak anak agar mereka dapat melakukan upaya pencegahan yang maksimal.
"Pemerintah harus berperan memampukan orang tua dalam situasi pandemi, inovasi-inovasi layanan, kemudian juga jemput bola jadi hal penting agar masyarakat yang punya gangguan kesehatan mental juga punya banyak saluran. Telekonseling juga menjadi penting sekarang," kata dia.