REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua MPR, Bambang Soesatyo, mengatakan MPR terbuka bagi siapa saja untuk menyampaikan aspirasinya terkait Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Bahkan, dalam waktu dekat MPR akan menyelenggarakan diskusi publik secara berkala guna menyerap aspirasi masyarakat terhadap berbagai hal seputar PPHN.
"Sekaligus menepis berbagai hoaks terkait perpanjangan masa jabatan presiden-wakil presiden maupun penambahan periodisasi presiden menjadi tiga periode," kata pria yang akrab disapa Bamsoet di Jakarta, Sabtu (4/9).
Menurutnya, langkah MPR periode 2019-2024 menyiapkan kehadiran PPHN tidak lain sebagai bentuk menjalankan amanat rekomendasi dari MPR periode 2009-2014 dan 2014-2019. "Dari berbagai aspirasi publik yang diserap MPR terlihat dengan jelas bahwa Indonesia sangat membutuhkan PPHN sebagai bintang penunjuk arah pembangunan, guna mencegah negara tanpa arah," ujar Bamsoet.
Bamsoet mengatakan, keberadaan PPHN sangat penting untuk memastikan kesinambungan pembangunan dari satu periode pemerintahan ke periode penggantinya sekaligus memperkuat sistem presidensial di era desentralisasi, serta menjamin keberlangsungan kepemimpinan nasional yang otentik, konstitusional, kuat dan stabil dan berwibawa.
Menurutnya, keberadaan PPHN juga akan memperkokoh integrasi bangsa dalam semangat persatuan dan kesatuan, yang berdasar kepada Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Saat ini MPR melalui Badan Pengkajian dan Komisi Kajian Ketatanegaraan sedang melibatkan pakar dan akademisi dari berbagai disiplin ilmu dalam menyelesaikan Rancangan PPHN beserta naskah akademiknya dan ditargetkan selesai pada awal tahun 2022.
Diharapkan pada tahun 2022, pimpinan MPR sudah bisa menyampaikan hasil kajian tersebut kepada para pimpinan partai politik, kelompok DPD, ormas, civitas akademika, hingga pemangku kepentingan terkait lainnya seperti dunia usaha, untuk membangun kesepahaman kebangsaan tentang pentingnya Indonesia memiliki PPHN.
"Mengenai pilihan tentang bentuk hukum yang akan dipilih untuk PPHN, apakah cukup dengan UU atau TAP MPR agar tidak bisa ditorpedo oleh Perppu, sangat tergantung kepada keputusan dan kesepakatan partai-partai politik yang ada di parlemen dan kelompok DPD," kata Bamsoet.