Kamis 26 Aug 2021 18:02 WIB

Disrupsi Menyebabkan Perubahan Model Ekonomi Masa Depan

Tiga disrupsi besar yang mengubah dunia, perubahan iklim, revolusi industri, pandemi.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Mas Alamil Huda
Rektor IPB Prof Arif Satria memberikan kuliah umum bagi mahasiswa baru terkait Pertanian Inovatif, Senin (16/8).
Foto: Dok IPB University
Rektor IPB Prof Arif Satria memberikan kuliah umum bagi mahasiswa baru terkait Pertanian Inovatif, Senin (16/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan, terdapat tiga disrupsi besar yang mengubah dunia yakni perubahan iklim, revolusi industri 4.0, dan pandemi Covid-19. Disrupsi ini menyebabkan perubahan yang besar pula pada model ekonomi masa depan.

Ia berpendapat, perubahan iklim misalnya, memaksa terjadinya green and blue economy. Revolusi industri memaksa terjadinya sharing economy. Sementara pandemi Covid-19 memaksa terjadinya new normal bioeconomy. Perubahan tersebut harus dihadapi semua kalangan dan semua bidang.

Green Economy Initiative (GEI) mendeskripsikan green and blue economy sebagai ekonomi yang meningkatkan kualitas kehidupan manusia dan ekuitas sosial, dengan secara signifikan mengurangi dampak lingkungan dan kelangkaan ekologi.

”Keberlanjutan saja tidak cukup. Langkah menjaga sumber daya alam tidak berhenti pada menjaga keberlanjutannya, namun juga regenerasi. Dalam istilah mudahnya, ada perbedaan antara membiarkan pohon tidak disentuh, dan menanam lebih banyak pohon," kata Arif, dalam keterangannya, Kamis (26/8).

Sementara itu, bentuk perubahan model ekonomi dari dampak revolusi industri 4.0 berupa sharing economy. Model ekonomi ini menurut Arif, memiliki ciri menciptakan nilai, dapat diakses online, berbasis komunitas, bisa dikonsumsi dan dimanfaatkan bersama, serta berbagi aset yang kurang termanfaatkan.

"Model ekonomi ini mengurangi kebutuhan kepemilikan, dan meningkatkan konsumsi kolaboratif," ujar dia.

Terkait dengan perubahan model ekonomi New Normal Bioeconomy memiliki tiga ciri khas, yaitu sirkular, berbagi, dan regeneratif. Ciri regeneratif ini muncul dari masa new normal, yang memaksa upaya-upaya menumbuhkan keanekaragaman hayati, karena meningkatnya kepedulian masyarakat akan pentingnya mengonsumsi makanan-makanan sehat dan berbasis biodiversitas.

Sebagai model bioekonomi baru, Arif menguraikan, biodiversitas memiliki fungsi penyediaan, pengaturan, kebudayaan, dan pendukung. Ia menjelaskan juga bahwa biodiversitas menyediakan pangan, obat, dan biomaterial, serta fungsi mengatur iklim, penyakit, dan regulasi.

Terlebih lagi, menurutnya, Indonesia merupakan negara mega biodiversitas, dengan sekitar 90 persen flora dunia dapat ditemui di Indonesia, dan 940 jenis berkhasiat sebagai obat.

"Nilai total keanekaragaman hayati di Indonesia mencapai lebih dari tiga ribu triliun rupiah. Oleh karena itu, model ekonomi new normal bioekonomi seharusnya menjadi hal yang sangat mungkin dan sangat menguntungkan di Indonesia, sehingga perlu untuk diprioritaskan," kata Arif.

Arif pun yakin, ekonomi berbasis biodiversitas ini dapat menjadi pondasi sumber ekonomi bangsa masa depan. "Dasar dari ekonomi masa depan ini tentang bagaimana kita mampu membangun ekosistem yang tangguh yang melibatkan modal SDM, modal produsen, dan SDA," ujar Arif.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement