Senin 23 Aug 2021 13:53 WIB

Kemenangan Taliban Dikhawatirkan Memengaruhi Kelompok JI

Densus 88 mengeklaim menangkap 222 anggota Jamaah Islamiyah selama tiga tahun ini.

Rep: Ali Mansur/ Red: Agus raharjo
Personel Densus 88 Anti Teror membawa terduga teroris menuju mobil tahanan setibanya di Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (18/3/2021). Sebanyak 22 tahanan kasus terorisme jaringan Jamaah Islamiyah (JI) dari Jawa Timur tiba di Bandara Soekarno Hatta dan selanjutnya dibawa ke Rutan Cikeas, Bogor, Jawa Barat.
Foto: ANTARA /Fauzan
Personel Densus 88 Anti Teror membawa terduga teroris menuju mobil tahanan setibanya di Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (18/3/2021). Sebanyak 22 tahanan kasus terorisme jaringan Jamaah Islamiyah (JI) dari Jawa Timur tiba di Bandara Soekarno Hatta dan selanjutnya dibawa ke Rutan Cikeas, Bogor, Jawa Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia, Islah Bahrawi mengkhawatirkan kemenangan Taliban di Afghanistan berpengaruh terhadap pola gerakan jaringan terorisme di Indonesia. Salah satunya Jamaah Islamiyah (JI) yang memiliki resiliensi kuat dengan Afghanistan.

Menurut Islah Bahrawi, pengiriman anggota JI ke Afghanistan untuk berlatih militer dan perakitan bom dimulai sejak pertama kali berdiri pada 1992. "Di bawah kepemimpinan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir, JI pada saat itu secara berkala mengirimkan anggotanya ke Afghanistan hingga beberapa angkatan," ujar Islah Bahrawi dalam keterangannya, Senin (23/8).

Sementara itu, Kombespol Aswin Siregar dari Densus 88 mengatakan hampir semua pelaku bom di Indonesia sejak Bom Bali I tahun 2000 hingga 2009 merupakan alumni Afghanistan. Ia mengingatkan, jaringan Jamaah Islamiyah hingga kini masih terus bergerak, mengingat gerakan mereka di bawah permukaan tidak pernah mengendur.

Aswin menambahkan, Jamaah Islamiyah secara aktif membangun jaringan melalui regenerasi, pelatihan dan struktur organisasi yang solid, melalui sistem pendanaan yang memadai. Tercatat mereka berhasil menjaring dana lebih dari Rp 100 miliar untuk mendukung operasionalnya. Kemudian pengungkapan lembaga donasi Syam Organizer menunjukkan betapa kuatnya jaringan ini.

"Tercatat mereka melakukan penarikan dana dari masyarakat dan mendistribusikannya dalam bentuk tunai melalui kurir-kurir terhadap banyak struktur JI untuk pembiayaan rekrutmen dan pelatihan," tutur Aswin.

Baca juga : Ketika Bos Intelijen Pakistan dan Taliban Sholat Berjamaah

Dana tersebut, lanjut Kabanops Densus 88 Mabes Polri ini, juga dialirkan untuk kebutuhan DPO teroris yang berada dalam persembunyian, teroris yang sedang berada di lapangan, termasuk juga kebutuhan teroris yang telah tertangkap kepolisian. Dia juga menuturkan, puncak aksi teror kelompok Jamaah Islamiyah terjadi dalam kurun waktu tahun 2000 hingga 2009.

"Kelompok Jamaah Islamiyah mendominasi aksi teror pengeboman, bom bunuh diri maupun penembakan. Para anggota JI yang terlibat dalam aksi-aksi teror tersebut mendapat bantuan dari anggota JI yang lain untuk disembunyikan," tuturnya.

Pada November 2020, telah dilakukan penangkapan terhadap dua DPO kasus Bom Bali I (tahun 2000) dan pelaku utama rangkaian aksi teror di Poso tahun 2004 hingga 2006. Mereka adalah Zulkarnaen alias Aris Sumarsono alias Daud alias Zaenal Arifin alias Abdulrahman dan Taufik Bulaga alias Syafrudin alias Udin Bebek alias Upik Lawanga.

"Selama bertahun-tahun mereka disembunyikan dengan rapi, melalui jaringan dan pendanaan yang kuat. Bahkan Upik Lawanga dalam persembunyiannya diketahui masih aktif melakukan perakitan senjata dan bahan peledak," katanya.

Dalam tiga tahun terakhir, menurut Aswin, anggota jaringan JI berhasil ditangkap sebanyak 25 orang pada 2019, 64 orang pada 2020, dan 133 orang pada 2021 per bulan Agustus. Namun demikian, Densus 88 berpendapat, penindakan terhadap kelompok teroris ini tidak akan pernah ada habisnya jika tidak ada resistensi dari masyarakat.

"Bagaimanapun, pencegahan harus dimulai dari hulu, yakni dari masyarakat sebagai sasaran rekrutmen utama berbagai kelompok teror. Jika masyarakat menolak, jaringan teroris tidak akan menemukan ruang untuk menghidupkan organisasinya dan melaksanakan aksinya," kata Aswin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement