Senin 23 Aug 2021 12:50 WIB

Nasdem Usul Ambang Batas Parlemen 7 Persen

Pengamat menilai ambang batas parlemen justru membuang banyak suara pemilih.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Agus raharjo
Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh memberikan sambutan saat pembukaan Kongres II Partai NasDem di JIExpo, Jakarta, Jumat (8/11/2019).
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh memberikan sambutan saat pembukaan Kongres II Partai NasDem di JIExpo, Jakarta, Jumat (8/11/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh menilai perlu adanya penyederhanaan partai politik di parlemen. Untuk mewujudkan hal tersebut, pihaknya mengusulkan agar ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) ditingkatkan menjadi 7 persen.

"Parliamentary threshold ini Nasdem mengusulkan 7 persen, itu (usulan) bukan hanya pemilu sekarang, Pak, 2019, 2014," ujar Surya dalam pidato kebangsaan perayaan 50 tahun Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, Senin (23/8).

Penyederhanaan partai politik di DPR, kata Surya, bertujuan agar kepentingan nasional menjadi prioritas parlemen. Sebab, ia tak mau para anggota dewan lebih mementingkan partai politik daripada negara lewat kerjanya di tingkat legislatif.

"Kita tidak mau, Pak, partai hanya untuk kepentingan partai, bagi Nasdem bukan itu. Partai untuk kepentingan bangsa, itu jauh lebih mulia," ujar Surya.

Jika PT 7 persen terealisasi, Nasdem siap menanggung risiko jika dalam pemilihan legislatif partainya memperoleh suara di bawah ambang batas. Asalkan cita-cita negara dapat tercapai lewat kerja serius para legislator di DPR.

"Kita harus mengupayakan penyederhanaan ke partai politik. Sistem multipartai kita pertama selected partai, kita sudah pernah hanya tiga parpol hasil dari fusi partai-partai," ujar Surya.

Sebelumnya, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai bahwa ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) tak menyederhanakam sistem kepartaian di Indonesia. Justru sebaliknya, hal itu malah membuat banyak suara pemilih yang terbuang dalam pemilu.

"Parliamentary threshold terbukti gagal atau tidak berhasil sederhanakan sistem kepartaian, tetapi justru berdampak pada wasting vote," ujar Titi.

Meski begitu, UU Pemilu saat ini dinilai tak dibuat untuk jangka yang panjang dan membuat adanya ketidakkonsistenan dalam penyelenggaraannya. Hal itu membuat penyelenggara selalu beradaptasi dengan aturan baru yang membuatnya tak maksimal.

Pihaknya mendorong agar revisi UU Pemilu kali ini untuk memperhitungkan jangka panjang pelaksanaan pemilihan umum. Agar regulasinya relevan dan penting untuk memperkuat kualitas tata kelola pemilu di Indonesia.

"Penyatunaskahan pengaturan pemilu dan Pilkada sangat penting dilakukan guna mengatasi pengaturan yang bermakna ganda, sulit dipahami, tumpang tindih, tidak konsisten, dan tidak komprehensif," ujar Titi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement