REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo mengatakan tidak ada pihak yang dapat menjamin amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tak melebar dari Pokok-Pokoh Haluan Negara (PPHN). Namun, ia mengungkapkan setidaknya ada tiga hal agar rencana tersebut tak melenceng dari tujuan.
Pertama, perlunya kontrol super kuat dari semua pihak untuk mengawasi jalannya wacana dan pembahasan. Hal ini penting agar publik dapat segera mengkritisi poin-poin yang tak ada kaitannya dengan PPHN.
"Kontrol yang kuat dalam melakukan amendemen ini penting agar tujuannya tak kemana-mana," ujar Ari dalam sebuah diskusi daring, Ahad (22/8).
Kedua, perlunya Presiden, MPR, ketua umum oartai, dan para pemimpin terkait, menyatakan janji secara tertulis dan legal kepada rakyat Indonesia bahwa pembahasan amendemen UUD 1945 hanya terbatas pada PPHN. Menurutnya, hal tersebut terdengar kekanak-kanakan, tapi penting agar adanya jaminan hukum bahwa pihak terkait tak melanggar janjinya.
"Kalau tidak, referendum saja sekalian, apakah kita butuh melakukan amendemen,” ujar Ari.
Terakhir, pengoptimalan pengawasan oleh media dan organisasi masyarakat sipil sebagai kontrol. Khususnya dalam mengawasi jalannya pembahasan dan mencegah tersebarnya berita hoaks di masyarakat.
Kendati demikian, ia tak sepenuhnya mendukung amendemen UUD 1945 dalam kondisi pandemi Covid-19. Sebab, upaya tersebut dapat menimbulkan instabilitas baru di tengah publik.
"Hal ini bersifat kontraproduktif dan semakin memecah kesatuan masyarakat. Pertaruhan politiknya sangat mahal," ujar Ari.
Di samping itu, tidak ada jaminan amendemen UUD hanya beragendakan menghidupkan PPHN. Pasalnya, kondisi politik saat ini terjadi penguatan oligarki, hegemoni kekuasaan transnasional, hingga lemahnya kontrol kekuasaan.
"Siapa yang butuh amendemen pertanyaannya? ya orang-orang yang hari ini berkuasa, jelas kekuasaan selalu ingin mempertahankan kekuasaan. Saya mencurigai siapa yang diuntungkan, mereka yang berkuasa hari ini," ujar Ari.