Ahad 22 Aug 2021 15:14 WIB

Buah Simalakama Pembelajaran Tatap Muka

Kita perlu bekerja sama memberikan anak-anak pendidikan yang bergizi selama pandemi.

Sejumlah siswa mengikuti Pembelajaran Tatap Muka (PTM) terbatas pada hari pertama kembali masuk sekolah di SDN 3 Lhokseumawe, Aceh, Kamis (5/8/2021). Kebijakan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) diharapkan bisa menyelamatkan kualitas pendidikan Indonesia setelah satu tahun setengah anak-anak belajar jarak jauh.
Foto: Antara/Rahmad
Sejumlah siswa mengikuti Pembelajaran Tatap Muka (PTM) terbatas pada hari pertama kembali masuk sekolah di SDN 3 Lhokseumawe, Aceh, Kamis (5/8/2021). Kebijakan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) diharapkan bisa menyelamatkan kualitas pendidikan Indonesia setelah satu tahun setengah anak-anak belajar jarak jauh.

Oleh : Karta Raharja Ucu, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Pemerintah mengizinkan sekolah-sekolah di wilayah PPKM Level 1-3 menggelar Pembelajaran Tatap Muka (PTM) dengan sejumlah syarat, salah satunya jumlah siswa dan guru yang sudah divaksin sudah minimal 80 persen. Namun, PTM kali ini seperti memakan buah simalakama, di makan bapak mati, tidak dimakan ibu yang mati. Jika sekolah dibuka siswa berisiko terpapar Covid-19, tetapi jika sekolah tidak dibuka-buka Indonesia dihadapi risiko merosotnya satu generasi sumber daya manusia akibat kualitas pendidikan yang rendah selama belajar online.

Tujuh belas bulan sudah virus corona mengurung Indonesia, sejak Presiden Jokowi mengumumkan untuk pertama kali dua WNI terpapar Covid-19 pada 2 Maret 2020. Hampir semua sektor mati suri ketika penyebaran Covid-19 menunjukkan peningkatan yang amat cepat, termasuk sektor pendidikan yang terkena dampak dari pandemi tersebut. Sekolah dan kampus ditutup, siswa dan mahasiswa dipaksa belajar di rumah secara lewat jejaring internet.

Situasi itu membuat pendidikan Indonesia saat ini seperti sebuah kapal yang sedang mengarungi samudera dengan cuaca yang sangat tidak bersahabat. Badai, petir, ombak, menghantam yang bisa membuat kapal tersebut karam. Kebijakan pemerintah yang mengizinkan PTM kembali digelar bisa menjadi solusi. Apalagi di sejumlah daerah jumlah murid dan guru yang mendapatkan suntik vaksin Covid-19 sudah melewati batas minimal 80 persen, sehingga belajar di sekolah sudah dimulai, meski terbatas. Tetapi perlu diingat cara tersebut belum bisa membuat mutu pendidikan kita kembali seperti masa sebelum pandemi.

Selama ini sebelum pandemi Covid-19 terjadi, kualitas pendidikan dan SDM di Indonesia jalan ditempat dinilai karena rendahnya kualitas guru. Namun, setelah Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang berbasis online diberlakukan, ternyata sistem pendidikanlah yang selama ini membelenggu guru Indonesia selama puluhan tahun. Seperti kita tahu pola pengembangan profesionalisme guru selama ini berorientasi kepada pemenuhan administrasi, sehingga penilaiannya lebih bersifat karikatif, atau tidak nyata. Sebatas konsep yang teknokratis. Upaya Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) meningkatkan standardisasi guru lewat sejumlah program kurang berjalan efektif karena belum sejalan dengan agenda pemerintah daerah.

Kelemahan pendidikan di Indonesia semakin kentara ketika kualitas guru kita meningkat, tetapi pola belajar anak-anak hancur lebur lewat sekolah online. Guru dibuat mati kutu karena tidak bisa menjalankan pembelajaran secara tatap muka demi menghindari penyebaran paparan Covid-19. Orang tua juga dibuat tidak berkutik dengan pola pembelajaran PJJ yang dinilai banyak pihak membuat kualitas pendidikan kita merosot tajam. Murid yang memiliki kemauan untuk belajar, tentu akan kecewa dengan pola pembelajaran PJJ yang terbatas pada komunikasi satu arah. Beruntung jika guru yang didapat siswanya aktif dengan sering melakukan pembelajaran via video. Cara ini sedikit mengatasi kebosanan pada murid yang saban hari diminta gurunya mengerjakan soal, tanpa penjelasan langsung.

Jika ada guru yang melek IT, misalnya mengerjakan tugas di layar komputer dan langsung keluar skornya ketika selesai mengerjakan, kendala bisa terjadi pada orang tua yang abanyak tidak paham caranya. Sehingga tugas harus dikerjakan manual, dengan cara difoto lalu diprint. Murid lalu mengerjakan soal dan setelah selesai hasilnya difoto. Merepotkan.

Belum lagi kendala internet. Selain belajar menghabisakan kuota internet yang tidak sedikit, terkadang kendala jaringan menjadi masalah baru. Mungkin untuk pelajaran anak tingkat sekolah dasar masih bisa teratasi oleh orang tua. Namun untuk jenjang SMP dan SMA belajar daring kurang efektif karena harus ada penjelasan dari guru mata pelajaran. Apalagi jika mata pelajaran yang harus mendapatkan penjelasan dari guru seperti Matematika atau IPA (Fisika dan Kimia), matilah orang tua murid yang kurang paham.

Sekolah daring memang melahirkan banyak masalah baru. Guru tak bisa mentransfer ilmu dan kasih sayang secara langsung, anak-anak mengalami kebosanan dan tekanan mental, ditambah orang tua murid yang dipaksa menghabiskan lebih banyak waktu menemani anak-anaknya mengerjakan soal. Konsep belajar di rumah memang belum sepenuhnya mudah dipraktikkan, apalagi di sebagian daerah yang akses internetnya terbatas.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima pengaduan sejumlah orang tua siswa yang mengeluhkan tugas-tugas yang dibagikan guru kepada anak-anak mereka secara daring. Anak-anak justru stres karena mendapatkan berbagai tugas setiap hari dari gurunya.

Situasi itu bisa terjadi karena kemungkinan besar para guru memahami home learning adalah memberikan tugas dan mengumpulkannya secara online. Alhasil siswa dan orang tua mengeluh.

Kegagalan tersebut bisa disebabkan banyak faktor. Pertama, guru yang tidak mau repot mengirimkan soal, murid yang mengerjakan soal "sekenanya", dan orang tua yang meluangkan waktu "seadanya" untuk ikut mengerjakan tugas-tugas di sekolah. Padahal, pola belajar di rumah seharusnya guru memberikan aktivitas belajar rutin kepada para siswa agar terbiasa belajar dan menjaga keteraturan, walau tidak ke sekolah. Sayangnya, lagi-lagi semua itu akan berhasil jika ketiga pihak, guru-murid-orang tua, bisa saling mengisi.

Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti berkata, dengan saling mengisi akan menciptakan keteraturan sehingga diharapkan anak-anak ketika kembali masuk sekolah, semangat belajarnya tidak padam dan materi pembelajaran tidak tertinggal. "Jadi ritmenya bisa diatur bukan malah membuat anak tertekan, perasaan tertekan dan kelelahan justru dapat berdampak pada penurunan imun pada tubuh anak," kata Retno.

Namun faktanya anak-anak mendapatkan banyak tugas yang harus dikerjakan di rumah. Karena semua guru bidang studi memberikan tugas yang butuh dikerjakan lebih dari satu jam. Imbasnya tugas makin menumpuk dan anak-anak jadi kelelahan.

Kemendikbudristek dan dinas-dinas pendidikan juga ikut ambil bagian dari berantakannya pola pendidikan daring. Sebab, mereka tidak melakukan edukasi terlebih dahulu kepada guru dan sekolah ketika ada kebijakan belajar di rumah selama 14 hari. Pemerintah misalnya bisa memberikan petunjuk teknis dan juklak petunjuk pelaksanaan seperti apa belajar di rumah dengan metode daring.

"Kalau sudah ada persiapan semestinya tidak terjadi penumpukan tugas yang justru memberatkan anak-anak," kata Retno. Misalnya dalam memberikan tugas kepada siswa harus terukur dikerjakan maksimal 30 menit, tidak boleh lebih. Jadi kalau dalam bentuk soal, maka guru dapat mengukur hanya berapa soal yang diberikan.

Para guru juga disarankan memberikan tugas tidak melulu dalam bentuk soal tetapi bisa penugasan yang menyenangkan. Misalnya membaca novel tertentu atau buku cerita apa saja selama tiga hari, kemudian menuliskan resumenya. Model penugasan seperti itu dapat mengasah rasa ingin tahu anak-anak untuk mencari jawabannya. Guru, menurut Retno, harus kreatif dalam memberikan penugasan.

Tetapi kenyataan di lapangan tidak semudah yang Retno katakan. Jalan ditempatnya pendidikan kita -jika tidak mau dibilang mundur- tidak hanya salah guru semata. Saya menyaksikan sendiri banyak guru yang sudah putar otak dengan melahirkan ide-ide kreatif agar anak-anak tidak bosan dan jatuh mentalnya ketika harus belajar jarak jauh, tetapi semuanya runtuh karena, salah satunya, murid-muridnya mengerjakan soal seadanya. Orang tua atau wali murid juga sulit diajak komunikasi, sehingga proses belajar mengajar menjadi terganggu.

Patut dicatat, guru juga mungkin memiliki anak-anak yang pastinya sekolah daring di rumah. Karena itu jika ada orang tua yang mengeluh sibuk dan kelelahan bekerja sehingga menyalahkan guru anak-anaknya memberikan banyak tugas, berarti tidak berempati kepada sang guru. Guru setelah mengajar atau bahkan di sela-sela mengajar, tentu harus membantu anak-anaknya juga belajar di rumah.

Meski begitu, memang bukan saatnya saling menyalahkan. Tidak perlu mencari siapa biang keroknya, tetapi...

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement