REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyoroti pidato kenegaraan yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam sidang sidang tahunan MPR RI. Dalam pidatonya, Presiden menyatakan fokus dalam menangani permasalahan kesehatan di situasi Pandemi Covid-19.
"Selain itu, lagi-lagi Jokowi kembali menekankan pembangunan infrastuktur dan ekonomi sebagai prioritas utama. Pidato tersebut seolah tidak memerhatikan kondisi belakangan yang carut marut dalam penanganan pandemi serta ambivalensi menggenjot infrastruktur yang berpotensi merugikan lingkungan," kata Koordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti dalam keterangannya, Senin (16/8).
Selain itu, Pidato Kenegaraan Jokowi semakin menegaskan bahwa pemerintah tidak lagi memedulikan hak asasi manusia. Fatia menuturkan, bila melihat rekam jejak selama setahun terakhir, langkah penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu bahkan tidak pernah dimulai.
"Hal tersebut diperparah dengan situasi baru-baru ini yang mana Jokowi memberikan bintang jasa kepada Eurico Gueterres, seorang pelaku pelanggaran HAM berat. Kami menilai situasi HAM ke depan tak akan kunjung membaik sebab praktik impunitas dan pengabaian HAM terus dijalankan, " tegasnya.
Menurut Kontras, praktik pengabaian HAM ini kian masif terutama di masa pandemi Covid-19. Alih-alih menangani pandemi secara serius dengan meggunakan pendekatan pemenuhan hak atas kesehatan dan pemenuhan pangan, pemerintah justru mengedepankan pemulihan ekonomi.
Lebih jauh, pemerintah pusat bahkan membangkang dari amanat UU Kekarantinaan Kesehatan yang mewajibkan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar selama kondisi karantina wilayah. Selain itu, penanganan pandemi selama ini juga mengedepankan pendekatan sekuritisasi yang memperlebar ruang represi terhadap masyarakat.
"Pendekatan tersebut senyatanya telah gagal dalam mengatasi situasi pandemi selama ini. Hal ini juga semakin mempertegas watak negara yang tidak peduli terhadap HAM," ujar dia.
Dalam pidatonya, Presiden Jokowi juga menyampaikan keberhasilan DPR dan Pemerintah dalam menyelesaikan UU Cipta Kerja sebagai omnibus law pertama di Indonesia. Selain itu, Presiden juga memuji DPR yang terus melakukan inovasi dan penjaringan aspirasi masyarakat.
Padahal, menurut Kontras, secara formil penyusunan Omnibus Law tersebut sangat problematis dan tidak partisipatif. Begitupun dalam aspek materil/substansi, muatan UU Cipta kerja berpotensi menyengsarakan rakyat, memperbesar potensi pelanggaran HAM, dan merusak lingkungan.
"Gejolak penolakan yang disuarakan masyarakat terhadap UU Sapu Jagat tersebut tak didengarkan sama sekali. Rangkaian demonstrasi di berbagai daerah di Indonesia bahkan berakhir dengan represi yang dilakukan oleh aparat," ucapnya.
Hal tersebut, sambung Fatia, telah berimplikasi pada menyusutnya ruang kebebasan sipil, yang semakin dibuktikan dengan respon berlebihan alat negara yang melakukan penangkapan dan tindakan sewenang-wenang kepada masyarakat. Bahkan, hasrat Presiden untuk menarik investasi sebesar-besarnya juga telah berimplikasi pada besarnya potensi kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM.
Hal tersebut ditemukan dari pola yang ada, dimulai dari aktivitas perusahaan yang merusak dan mencemari lingkungan, kemudian jika masyarakat menolak akan muncul ruang kriminalisasi. Terbaru, terdapat kasus masyarakat adat Kinipan, pembangunan bendungan di Wadas, dan pertambangan emas di Sangihe.
Belum lagi persoalan Papua yang luput dari sorotan Presiden, padahal masalah kesehatan, kemanusiaan dan lingkungan di sana semakin parah," tegasnya.
Dalam pidatonya, Presiden juga mengatakan “Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh, yang menjadi semboyan Bulan Kemerdekaan pada tahun ini, hanya bisa diraih dengan sikap terbuka dan siap berubah menghadapi dunia yang penuh disrupsi.” Kontras menilai, hal ini dapat menjadi gambaran bahwa saat ini Pemerintah sendiri masih cukup abai perihal penegakan Hukum dan HAM, para penguasa hanya terus memikirkan bagaimana nasib perekonomian bangsa.
"Presiden juga tidak menjelaskan langkah negara, dalam penyelesaian persoalan HAM yang berkaitan dengan kewenangan Presiden, DPR, dan Kejaksaan Agung untuk penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang mandek," ujar Fatia.
"Karena Kejaksaan Agung tidak juga melakukan penyidikan, DPR tidak memberikan rekomendasi pembentukan pengadilan HAM ad hoc, dan Presiden tidak juga mengeluarkan Keppres pengadilan HAM ad hoc sebagaimana diatur dalam UU 26 tahun 2000," tambahnya.
Padahal, persoalan ini secara jelas dan nyata adalah mandat undang-undang, termasuk ketetapan MPR yang berkaitan dengan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Namun, pidato Presiden tidak menyampaikan sejauh mana dan langkah apa yang telah dan akan negara lakukan.
Presiden Jokowi dalam pidatonya pun sebenarnya menyadari banyaknya kritik yang disampaikan. Sayangnya, kritik tersebut tak digubris baik oleh pemerintah dan DPR. Pemerintah malah cenderung membiarkan pembungkaman suara kritik baik di ruang publik dan digital.
"Begitu banyak demonstrasi yang dibubarkan dan direpresi. Pada akhirnya, Kontras melihat bahwa pidato Presiden Joko Widodo hanya lips service semata dalam menjaga kebebasan sipil," tutup Fatia.