REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Siti Juliantari, mengatakan konflik kepentingan tidak selalu menyebabkan korupsi, tetapi tindakan korupsi membutuhkan konflik kepentingan.
ICW mencatat, dari 444 kasus korupsi sepanjang 2020, sebagian besar ditindak dengan Pasal 2 dan 3 mengenai perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain/korporasi. "Pasal 2 dan 3 ini secara jelas di pasal ini disebutkan bahwa perbuatannya itu memperkaya atau menguntungkan diri sendiri. Jadi di situ ada kepentingan pribadi maupun kelompoknya," ujar Juliantari dalam diskusi publik secara daring, Ahad (15/8).
Dia melanjutkan, pasal-pasal lainnya dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juga menyiratkan adanya konflik kepentingan. Di masa pandemi Covid-19 ini, ICW mengkritisi beberapa kebijakan yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Pertama, kartu prakerja. Kartu prakerja dinilai menguntungkan sejumlah pihak, bukan berdasarkan kepentingan rakyat. Salah satu staf khusus presiden yang memiliki kegiatan usaha terlibat dalam kartu prakerja, di mana usahanya memfasilitasi program tersebut.
ICW menilai kebijakan kartu prakerja tidak transparan dalam proses pemilihan platform digital yang bekerja sama dengan pemerintah. Misalnya, tidak terbukanya alasan atau dasar pemilihan vendor yang ditunjuk untuk memfasilitasi program kartu prakerja.
Bahkan, permintaan ICW atas keterbukaan informasi terkait proses pemilihannya itu ditolak. Hingga kemudian ICW mengajukan sengketa ke Komisi Informasi Pusat, dan sudah diputuskan bahwa informasi itu harus terbuka atau disampaikan kepada publik. "Dan benar kartu prakerja ini ya hanya dipilih platform-platform digital ini ya karena dekat sama pembuat kebijakannya, tetapi tidak sebenarnya bertujuan untuk kepentingan publik," kata Juliantari.
Selain itu, kondisi pandemi Covid-19 membuat proses pengadaan barang/jasa harus cepat. Proses pemilihan seperti tender yang tidak dilalui karena situasi darurat, justru dimanfaatkan sejumlah pihak dengan tidak adanya keterbukaan proses pemilihan vendor atau perusahaan kepada publik.
"Ini ruang abu-abu yang sangat amat mungkin terjadinya penyelewengan kewenangan, apalagi berlindung dengan keadaan darurat dan harus cepat. Pemerintah ini melihat dengan keadaan darurat ini bahwa tranparansi itu jadi nomor urut dua," tutur dia.
Dia menambahkan, potensi adanya konflik kepentingan itu akan berisiko besar menimbulkan tindakan korupsi. KPK mendefinisikan, konflik kepentingan adalah situasi di mana seorang penyelenggara negara mendapatkan kekuasaan dan kewenangan berdasarkan perundangan-undangan memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadibaras setiap penggunaan wewenang yang dimilikinya sehingga dapat memengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusnya.