REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengakui baliho Airlangga Hartarto yang terpajang di sejumlah daerah di Tanah Air merupakan bagian dari upaya sosialisasi Calon Presiden (Capres) 2024. Pemasangan baliho dilakukan secara terencana.
"Awalnya atribut sosialisasi dilakukan secara sporadis oleh kader Golkar di daerah. Namun, kini pemasangan baliho tersebut telah diatur partai," kata Ahmad Doli kepada wartawan di Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan perencanaan oleh partai juga disusun dengan baik. Apalagi, saat ini sudah 2021, maka strategi pengenalan pada publik terus ditingkatkan. Selain itu, Golkar mengakui popularitas dan elektabilitas Airlangga masih rendah."Karena itu diperlukan kerja keras untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas Pak Airlangga Hartarto," kata dia.
Terkait kesiapan Airlangga Hartarto sebagai Capres 2024, Ahmad Doli mengatakan Ketua Umum Golkar tersebut belum memberikan jawaban karena masih fokus bekerja sebagai Menteri Koordinator bidang Perekonomian sekaligus Ketua Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KCP-PEN)."Beliau saat ini fokus ke situ," kata dia.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion ( IPO) Dedi Kurnia Syah mengatakan keberadaan baliho-baliho tersebut adalah upaya promosi elite partai politik demi mengejar popularitas dan soliditas internal.Hal tersebut dilakukan karena mereka harus melalui tahap diusung partai politik lebih dulu. Baliho juga untuk mengukur apakah popularitas elite dapat meningkat lebih baik atau tidak.
"Jadi bukan soal tepat atau tidak karena masa pandemi, ini lebih kepada antisipasi kontestasi di internal partai," ujarnya.
Dedi menjelaskan popularitas yang tumbuh pada seorang tokoh akan melegitimasi ketokohan elite agar menaikkan nilai tawar partai politik saat membangun koalisi.Seperti yang diketahui hingga hari ini semua partai masih dalam tahap saling menjajaki satu sama lain, belum ada kecenderungan penentuan arah koalisi secara pasti."Etis tidaknya itu bergantung dari simbol yang dibawa. Jika atas nama Ketua Umum Parpol, maka etis saja," kata dia.
Namun, tidak etis jika para elite menamakan baliho sebagai pejabat publik atau politik meskipun menggunakan anggaran parpol.