REPUBLIKA.CO.ID, Pandemi Covid-19 yang terus berkepanjangan, ternyata berkaitan dengan kasus kekerasan terhadap anak. Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kota Bogor, Dudih Syarudin mengatakan, KPAID Kota Bogor telah menangani sekitar 20 kasus aduan terkait permasalahan anak.
Selain kasus yang ditangani melalui aduan, KPAID Kota Bogor juga melihat banyaknya keluhan dan curhatan dari isu serupa di media sosial. “Total aduan yang sudah ditangani sekitar 20 (kasus). Kalau (tahun) sebelumnya sampai di angka 60 kasus. Ada penurunan, tapi kan tahun ini baru sampai bulan ke-tujuh. Kalau melihat keluhan curhatan di media sosial luar biasa, bahkan enggak hanya soal anak,” kata Dudih, Rabu (28/7).
Dudih mengatakan, meski di tingkat pengaduan berkurang, pihaknya melihat banyaknya cuitan, status, dan unggahan di media sosial tentang keluarga lebih masif di masa pandemi Covid-19. Berbagai isu seperti kekurangan dan keterbatasan penghasilan, dinilai dapat berdampak pada anak.
Salah satunya ketika ayah atau suami tidak berpenghasilan, sementara tuntutan makan dan kesehatan dari keluarga tidak bisa ditunda. “Penghasilan terbatas, gerak untuk melakukan usaha dibatasi. Bantuan juga terbatas. Ini tidak terelakkan. Akhirnya kekerasan terjadi. Ini salah satu bagamana kita bisa mengurai permasalahan akhirnya anak tidak melulu jadi korban,” ujar dia.
Lebih lanjut, Dudih mengatakan, KPAID dapat membantu mengurai permasalahan yang ada di keluarga. Meskti tidak bisa memuaskan dan memenuhi ekspektasi secara keseluruhan, namun pihaknya dapat memberikan secercah harapan dari satu sisi permasalahan dengan memberi solusi.
“Di kondisi seperti ini semua orang merasa kesulitan. Akibatnya bisa kemana-mana. Anak bisa kena kekerasan verbal maupun fisik,” kata dia.
Komisioner KPAID Kota Bogor, Sumedi mengatakan, pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau pembelajaran daring selama setahun lebih dijalani anak-anak, kerap membuat tingkat kekerasan tinggi. Sebab, tidak semua orang tua bisa menjadi guru di rumah bagi anak-anaknya.
“Pembelajaran daring yang orangtua tidak biasa menjadi guru di rumah, bisa menyebabkan tingkat kekerasan tinggi. Emosi. Orangtua biasa kerja, enggak mengajar. Sementara anak dituntut belajar di rumah sama orang tua,” kata Sumedi.
Sementara, Koordinator dan Advokat Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) Kota Bogor, Iit Rahmatin mengatakan, meski di tengah pandemi Covid-19, P2TP2A terus rutin melakukan kunjungan ke puskesmas dan lokasi aduan, untuk melakukan konseling. Serta tetap berkomunikasi secara intens dengan para korban.
“Kami juga bekerjasama dengan KPAID Kota Bogor di beberapa tupoksi. Sebagai pengawas undang-undang, juga untuk mendorong beberapa kebijakan,” kata Iit.
Perebutan Hak Asuh
Iit mengatakan, pihaknya juga fokus menangani kasus kekerasan terhadap anak akibat perebutan hak asuh anak di tengah proses perceraian. Kejadian tersebut justru membuat sang anak menjadi korban.
Beberapa waktu lalu, P2TP2A menangani kasus dimana seorang anak di bawah umur, kesulitan untuk bertemu dengan ibunya. Lantaran, kedua orang tuanya tengah dalam proses perceraian. Saat itu, sang anak berada di rumah ayahnya. Sementara ibunya dilarang untuk bertemu dengan anaknya.
Padahal, keluarga sang ayah menyarankan agar anak tersebut diambil ibunya. Sebab, sang ayah tidak memiliki pekerjaan dan kerap melampiaskan amarah kepada anaknya. Pihak P2TP2A pun menginginkan, hak asuh anak yang masih di bawah umur itu berada di tangan ibunya.
“Kami khawatir kalau dengan kita, ayahnya enggak suka kalau ada keterlibatan pihak ketiga. Jadi diupayakan dibujuk sama keluarga dulu. Sambil tunggu proses peradilan, jadi satu per satu,” ujar dia.