Jumat 06 Aug 2021 19:26 WIB

Dinkes DKI Jawab Dugaan Kerugian Negara Temuan BPK

Dinkes menyebut harga rapid dan masker di 2020 sangat tinggi.

Rep: Flori Sidebang/ Red: Indira Rezkisari
Petugas kesehatan mengamati hasil rapid test antigen Covid-19. BPK menemukan kelebihan bayar oleh Pemprov DKI Jakarta terkait pembelian respirator N95 dan alat rapid test Covid-19.
Foto: ANTARA/Siswowidodo
Petugas kesehatan mengamati hasil rapid test antigen Covid-19. BPK menemukan kelebihan bayar oleh Pemprov DKI Jakarta terkait pembelian respirator N95 dan alat rapid test Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta, Widyastuti, menanggapi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait pemborosan anggaran atas pengadaan alat rapid test Covid-19 dan respirator (masker) N95. Widyastuti mengungkapkan, tidak ada kerugian negara dalam pengadaan dua alat kesehatan pada tahun 2020 itu.

"Itu kegiatan di tahun 2020 dan sudah dilakukan pemeriksaan oleh BPK dan tidak ditemukan kerugian negara. Itu hanya masalah administrasi saja," kata Widyastuti kepada wartawan, Jumat (6/8).

Baca Juga

Widyastuti menjelaskan, pemborosan anggaran untuk pengadaan alat rapid test terjadi lantaran harga jual pada tahun 2020 yang masih sangat tinggi. Ia menyebut, pihaknya pun menyesuaikan pembelian dengan kondisi saat itu untuk menjamin pemeriksaan Covid-19 bagi warga Jakarta.

"Awal tahun lalu kan belum ada pengiriman secara rutin. Kita meyakinkan bahwa bisa melakukan kegiatan kan belum ada kepastian. Sehingga kita perlu menjamin warga DKI dapat dilakukan pemeriksaan," ujarnya.

Sementara itu, sambung Widyastuti, pembelian masker N95 dengan jumlah anggaran mencapai Rp 5,8 miliar juga dilakukan pihaknya sesuai dengan kondisi yang terjadi pada tahun 2020. Ia menuturkan, saat itu stok masker di pasaran cukup sulit didapatkan dan pihaknya menerima berbagai masukan dari para pengguna.

"Tentu spesifikasi sama, tetapi karena ada keluhan tertentu jadi kita sesuaikan dengan masukan-masukan dari user. Itu kan awal-awal dulu kan masker sulit sehingga banyak sekali jenis yang ada. Nah, tentu kita sesuai dengan spek yang diminta dengan masukan dari user," jelas dia.

Widyastuti pun memastikan bahwa pengadaan alat rapid test dan masker tersebut telah dilakukan secara transparan. Dia mengatakan, Pemprov DKI terus berkoordinasi dengan berbagai pihak dalam mengawasi penggunaan anggaran.

"Saya sampaikan (pengadaan alat kesehatan) itu sesuai dengan kondisi saat itu. Kan kita tahu fluktuasi harga tahun lalu, kita enggak pernah ngerti pergerakan harga," ungkap Widyastuti.

"Jadi sejak awal kita minta pendampingan oleh semua pemeriksa, inspektorat, kejaksaan, semuanya kita minta mendampingi, mengawal. Saya minta secara khusus kepada para pemeriksa, auditor bagaimana proses di DKI," sambungnya menjelaskan.

Sebelumnya, BPK menyebutkan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kelebihan membayar masker respirator N95 sebesar Rp 5,8 miliar dari pos belanja tak terduga (BTT) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI 2020. Hal ini disampaikan BPK dalam laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan Pemprov DKI 2020 yang disahkan Kepala BPK DKI Pemut Aryo Wibowo pada Kamis (6/8).

Laporan tersebut juga menyebut pembelian masker itu dilakukan melalui dua perusahaan berbeda, yakni PT IDS dan PT ALK yang memiliki kisaran harga berbeda. "Permasalahan itu mengakibatkan pemborosan keuangan daerah senilai Rp 5.850.000.000," tulis Pemut dalam laporan yang dikutip di Jakarta.

Selain itu, dalam laporan hasil pemeriksaan tersebut, BPK juga menyatakan, Pemprov DKI Jakarta kelebihan bayar dengan nilai hingga mencapai Rp 1,1 miliar untuk pengadaan alat rapid test Covid-19 pada 2020.

Berdasarkan pemeriksaan BPK pada dokumen pertanggungjawaban pembayaran, ditemukan dua penyedia jasa pengadaan rapid test Covid-19 dengan merek serupa dalam waktu yang berdekatan. Namun, pengadaan itu memiliki harga yang berbeda.

BPK pun merekomendasikan Pemprov DKI agar memerintahkan kepala Dinas Kesehatan untuk menginstruksikan PPK supaya lebih cermat dalam meneliti data-data pengadaan atas barang yang sama dari penyedia sebelumnya untuk dipakai sebagai acuan dalam penunjukan langsung.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement