REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengakui kasus kematian akibat Covid-19 di Indonesia tinggi. Salah satu penyebabnya adalah terlambatnya pasien Covid-19 dibawa berobat ke rumah sakit, padahal kondisinya sudah memburuk sehingga tak bisa ditolong.
"Betul, kasus kematian tinggi, ini setelah kami lihat dan analisa dari 20 kota/kabupaten terbesar yang tertinggi kasusnya, sebagian besar menyumbang kasus kematian di Indonesia," ujarnya saat mengisi konferensi virtual Kemenkes, Senin (2/8).
Kemenkes juga mencatat perbedaan fenomena kematian akibat Covid-19 dibandingkan sebelumnya. Budi menyebut kalau sebelumnya pasien rata-rata setelah dirawat selama delapan hari kemudian meninggal dunia, sekarang ketika dirawat selama 4,8 hari ternyata sudah wafat.
Jadi, kematian pasien Covid-19 di Tanah Air kini lebih cepat. Dulu, kata Budi, sedikit sekali kematian pasien saat dirawat di ruang instalasi gawat darurat (IGD) rumah sakit (RS). Dulu yang terinfeksi Covid-19 masuk ke IGD kemudian dilihat dan diperiksa, menunggu sebentar sampai ada kamar kosong namun kondisi memburuk kemudian masuk ruang intensif (ICU) dan menghembuskan napas terakhir saat di ruangan tersebut.
"Tetapi dalam tiga bulan terakhir, kematian pasien saat di ruang IGD meningkat. Itu yang membuat mereka hanya sebentar ada di rumah sakit sebelum akhirnya wafat," katanya.
Setelah ditelusuri, Kemenkes melihat sebagian besar saturasi oksigen pasien pada saat masuk RS ternyata sudah sangat rendah. Pasien yang masuk ke rumah sakit dalam kondisi saturasi oksigennya di bawah 90 persen menurut oximeter, padahal itu sudah sangat rendah. Seharusnya saturasi oksigen di bawah 94 persen saja sudah harus dikirim ke RS. "Jadi, banyak pasien Covid-19 yang terlambat mendapatkan intervensi medis," katanya.
Jika saturasi oksigen orang yang terinfeksi Covid-19 masih di atas 94 persen, maka bisa menjalani isolasi mandiri asalkan menjalankan hidup sehat dan mendapatkan asupan makanan yang cukup. Oleh karena itu, Budi meminta setiap pasien Covid-19 memiliki oximeter.
Budi menambahkan, kalau saturasi oksigen di bawah 94 persen harus segera dirujuk, baik itu ke pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), isolasi terpusat atau ke rumah sakit. Sebab, jika terlambat dibawa berobat ke rumah sakit bisa fatal akibatnya.
Kemenkes mengaku telah membagikan alat ini ke pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) jika masyarakat tak memilikinya. Kemudian dengan menghubungi puskesmas, tenaga kesehatan puskesmas akan mengirim tenaga kesehatannya untuk mengecek kondisi pasien atau bisa juga diminta menjalani isolasi ke tempat isolasi terpusat.
Artinya, kata Budi, ada pihak puskesmas yang bisa mengawasi saturasinya seperti apa. Kemenkes juga berencana menggandeng organisasi profesi kesehatan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) agar daerah-daerah yang penduduknya menjalankan isolasi mandiri maupun terpusat bisa berkonsultasi lewat telemedicine dengan telpon atau Whatsapp atau dengan pesan video.
"Yang penting ada yang merawat. Kami akan coba di 20 kota yang tingkat kematiannya tinggi," katanya.
Selain menggandeng organisasi profesi, Kemenkes akan mencoba melakukan sosialisasi yang lebih agresif. Menurutnya, ini penting dilakukan karena ia melihat masih banyak pasien Covid-19 yang malu mengakui terinfeksi Covid-19. Akibatnya, pasien Covid-19 lebih baik diam di rumah dan meminta dirawat keluarganya.
"Oleh karena itu, kami akan mencoba melakukan sosialisasi yang lebih agresif dan media bisa membantu," ujarnya.