REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Andaikan semua masyarakat menyadari, bahwa kekuatan daya tahan tubuh untuk menangkal virus sangat bergantung dengan kesehatan masing-masing individu, dan kesehatan sangat bergantung kepada pola pikir, pola perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Tentunya masyarakat tidak perlu panik menghadapi situasi ini, dan yang lebih penting lagi pemerintah tidak perlu mengancam dan tidak perlu ada kekerasan dalam menyukseskan program PPKM, atau mungkin tidak perlu ada program itu karena setiap individu menyadari bagaimana cara menyelamatkan diri dari ancaman virus ini. Demikian kesimpulan hasil diskusi Yayasan Gemar Membaca Indonesia (Yagemi) yang digelar di Jakarta, Rabu (21/7).
Hadir dalam diskusi tersebut, Firdaus Oemar (ketua Yagemi), Zulfikri Anas (direktur Istitute Indonesia Emas dan Pengembang Kurikulum dari Puskurbuk, Kemendikbud); Afrizal Sinaro (anggota Dewan Pertimbangan Ikapi).
Zulfikri menegaskan, masa pandemi ini menjadi peluang emas untuk penguatan karakter, kreativitas, dan kemampuan berinovasi bagi guru, peserta didik, orang tua, serta masyarakat secara keseluruhan untuk mengasah ketangguhan mereka menghadapi segala tantangan dalam kehidupan.
“Apa itu virus? Masuk kageori apa dia? Makluk hidup atau bukan makhluk hidup? Atau bukan kedua-duanya? Bagaimana cara ia masuk ke tubuh manusia, dan mengapa ketika dia telah masuk ke dalam tubuh manusia, tidak semua orang merasakan keberadaanya. Bagi sebagian orang ia membawa kematian, namun bagi sebagian lagi tidak merasakan apa-apa, ia tetap hidup sehat, malah virusnya yang mati,” papar Zulfikri seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Menurut dia, semua ini ada dalam pelajaran IPA di SD dan SMP, serta SMA. Tapi entah kenapa pembelajaran itu tidak menggugah kesadaran para siswa tentang perilaku virus ini. “Demikian juga ketika di pelajaran kimia, biologi, dan fisika di SMA, semua asyik bicara ilmu-ilmunya masing-masing, tidak ada yang bicara kehidupan. Bagaimana jika suatu ketika ada sejenis virus tertentu yang sangat kecil tapi mampu mengguncangkan dunia. Ia mempengaruhi ekonomi, politik, dan tatanan kehidupan manusia di dunia secara keseluruhan,” ujarnya.
Sejalan dengan hal tersebut, Firdaus Oemar, mengungkapkan, “Jika kita mampu secara cerdas memberikan edukasi kepada masyarakat melalui berbagai buku bacaan yang bermanfaat pada saat semua anggota keluarga di rumah, tentunya masa satu tahun lebih ini sudah sangat memadai untuk membangun tatanan kehidupan baru yang sehat, cerdas dan tangguh. Ayah dan ibu disuplai dengan buku-buku agama, kesehatan, pertanian, masakan, cara mendidik anak-anak, sementara anak-anak mereka mendapatkan buku-buku bacaan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Jika hal demikian bisa dilakukan, tentunya kita akan melihat tumbuhnya kemandirian masyarakat dalam menghadapi situasi darurat, masing-masing rumah sudah memiliki strategi jitu untuk bertahan hidup, sudah memiliki kebun sendiri sesempit apapun pekarangan, mungkin sudah memiliki kolam-kolam kecil berternak ikan, tanaman cabe dan lain-lain.”
Satu hal yang lebih penting lagi, lanjut Firdaus, "Jika mereka mendapatkan bacaan-bacaan yang bermanfaat, tentunya mereka dengan cerdas menyikapi berita-berita hoaks yang membanjiri dunia maya dan media sosial. Kemampuan literasi masyarakat akan tumbuh dan pada gilirannya akan membangun keluarga yang tangguh, dan masyarakat yang tangguh."
Firdaus menyebutkan, Yagemi telah menjalankan program buku masuk rumah secara bergiliran sejak lima tahun terakhir. Kegiatan ini diawali dengan ujicoba di desa Saok Laweh Kabupaten Solok, dan telah diimplementasikan di beberapa di provinsi, yakni Jawa Barat, Kuantan Singingi (Riau), dan Sumatera barat. Sementara ini terhenti karena terkendala pendanaan.
Melalui program tersebut, kata Firdaus, setiap rumah mendapatkan paket lima judul buku sesuai dengan kebutuhan anggota keluarga. Buku tersebut beredar secara bergiliran setiap dua minggu. Artinya, selama satu bulan setiap keluarga akan mendapatkan paket 10 buku dengan judul yang berbeda, dan selama satu tahun setiap keluarga mendapatkan 120 paket judul buku.
“Selama ini, dalam satu desa rata-rata 200 rumah yang mendapatkan program ini, dengan biaya sekitar Rp 50 juta selama satu tahun dan mejangkau 1.000 orang. Biaya yang sangat murah bila dibandingkan dengan manfaat yang didapatkan,” papar Fidaus.
Afrizal Sinaro, anggota Dewan Pertimbangan Ikapi, menegaskan, program ini sejalan dengan program pembangunan berkelanjutan Kementerian Desa, dan program ini sangat strategis bila dilanjutkan di masa pandemi ini. Seandainya semua pihak terkait seperti Kemendikbud, Kemendagri, Kemendes, Kemensos secara bersama-sama terlibat dalam kegiatan ini, tentunya tidak akan memberatkan.
Satu hal lagi, kata Afrizal, program ini sangat strategis karena masyarakat tidak perlu keluar rumah berkunjung ke perpustakaan di daerah masing-masing, namun mereka tetap dapat membaca untuk meningkatkan kemampuan literasi mereka. Sehingga, mereka tumbuh menjadi masyarakat yang cerdas, literat, dan tangguh menghadapi segala bentuk bencana, termasuk bencana hoaks yang tumbuh subur dalam situasi pandemi ini.
“Agar negeri ini mampu menemukan solusi yang tepat, bagaimana memanfaatkan momentum masa pandemi ini untuk mewujudkan masyarakat tangguh. perlu diadakan suatu forum diskusi bersama yang melibatkan pihak-pihak terkait seperti DPR, Kemendikbud, Kemensos, Kemendes, media massa, dan tokoh-tokoh masyarakat terutama yang berhubungan dengan pendidikan, pemberdayaan masyarakat dan program literasi nasional,” papar Afrizal.