Selasa 20 Jul 2021 19:35 WIB

Sumber Daya Terbatas, Satgas: Perlunya Relaksasi Pengetatan

Upaya pengetatan tak bisa dilakukan terus menerus karena memerlukan sumber daya besar

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Agus Yulianto
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito
Foto: Republika/Thoudy Badai
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Pemerintah Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menyampaikan, tingginya kasus positif Covid-19 yang terjadi saat ini disebabkan oleh berbagai varian Covid-19 yang telah masuk ke Indonesia, khususnya varian Delta. Dia menyebut, pemerintah telah berusaha maksimal untuk mengendalikan lonjakan kasus yang tinggi ini dengan melakukan pengetatan mobilitas masyarakat, meningkatkan kapasitas rumah sakit, serta menyediakan obat-obatan dan alat kesehatan.

Namun, kata dia, upaya pengetatan ini tidak bisa dilakukan terus menerus karena memerlukan sumber daya yang sangat besar dan berdampak pada ekonomi. “Upaya-upaya ini tidak akan cukup dan pengetatan tidak bisa dilakukan secara terus menerus karena memerlukan sumber daya yang sangat besar dengan risiko korban jiwa yang terlalu tinggi, serta berdampak secara ekonomi. Tentunya pada suatu titik kita harus kembali melakukan relaksasi,” kata Wiku saat konferensi pers, Selasa (20/7).

Dia menekankan, penanganan Covid-19 dapat berhasil dan efektif jika saat keputusan relaksasi diambil telah disiapkan dengan matang serta adanya komitmen dari seluruh unsur pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan kebijakan. Kedua hal ini menjadi kunci terlaksananya relaksasi yang efektif dan aman serta tidak memicu kasus kembali melonjak. 

"Cara ini adalah cara yang paling murah dan mudah dan dapat terus dijalankan dengan berbagai penyesuaian pada kegiatan masyarakat,” tambah dia.

Meskipun begitu, Wiku menegaskan, relaksasi kebijakan harus dilakukan dengan kehati-hatian. Berkaca pada kebijakan pengetatan dan relaksasi pemerintah yang telah dilakukan selama 1,5 tahun pandemi, langkah relaksasi yang tidak tepat dan tidak didukung oleh seluruh lapisan masyarakat dapat memicu kenaikan kasus yang lebih tinggi. 

Pemerintah sendiri telah melaksanakan tiga kali kebijakan pengetatan dan relaksasi. “Dengan PPKM Darurat saat ini menjadi pengetatan yang keempat,” kata dia.

Mekanisme pengetatan rata-rata dilakukan selama 4-8 minggu dengan efek melandainya kasus atau penurunan kasus. Namun, saat relaksasi selama 13-20 minggu kasus kembali meningkat hingga 14 kali lipat. Karena itu, kata Wiku, pengalaman tersebut perlu menjadi pembelajaran dari pelaksanaan pengetatan kali ini.

Wiku mengatakan, pengetatan yang telah berjalan selama dua minggu ini telah menunjukan dampaknya. Seperti mulai menurunnya BOR di provinsi di Pulau Jawa Bali serta penurunan mobilitas penduduk.

“Namun, penambahan kasus masih menjadi kendala yang kita hadapi. Hingga saat ini kasus masih mengalami peningkatan hingga dua kali lipat, dengan jumlah kasus aktif 542.938 atau 18,65 persen,” ujar Wiku.

Dia juga mengingatkan, dari pembelajaran selama ini, keputusan relaksasi sering kali tidak diikuti dengan sarana prasarana, fasilitas layanan kesehatan, dan pengawasan prokes yang ideal. Selain itu, relaksasi juga disalahartikan sebagai keadaan aman sehingga masyarakat abai terhadap prokes dan penularan kembali terjadi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement