Jumat 16 Jul 2021 15:40 WIB

Klaim Sri Mulyani Bisa Menahan Laju Kemiskinan

Data kemiskinan pemerintah dinilai tak akurat karena sering tumpang tindih.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengatakan angka kemiskinan akibat pandemi masih bisa dijaga. Tingkat kemiskinan disebutnya terjaga tidak lebih dari 10 persen di tahun 2020.
Foto:

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menilai angka kemiskinan yang dipaparkan Sri Mulyani tidak sepenuhnya akurat. Alasannya masih banyaknya data penduduk miskin yang masih overlapping di Kementerian/Lembaga, maupun pemerintah daerah.

Padahal, bantuan sosial merupakan program tahunan atau rutin untuk membantu sebanyak 40 persen masyarakat miskin. "Di masa pandemi ini yang membuat kaget birokrasi ketika dana bantuannya meningkat, jadi secara sistem dan tata administrasi banyak yang tidak siap," jelas Bhima kepada Republika, Jumat (16/7).

Ia menyebut permasalahan utama dalam program perlindungan sosial adalah adanya korupsi pada pengadaan bansos sembako, dan data yang overlapping. Untuk menghindari adanya korupsi lagi, bansos tunai memang merupakan langkah yang tepat. Namun, masih ada 20 juta dana penerima ganda, sehingga penyaluran bansos tunai masih belum efektif.

"Jadi, peningkatan anggaran bansos memang mendesak, tetapi secara sistem atau tata kelola dan pendataan harus dibenahi," kata Bhima.

Data penerima ganda tersebut dapat dikelola melalui pengecekan rekening penerima dana di perbankan. Menurut Bhima, seharusnya Pemerintah bisa bekerja sama dengan perbankan untuk skrining rekening aktif penerima dana, agar dana bansos dapat tersalurkan secara lebih menyeluruh.

"Jadi itu yang utama harus dibenahi, alokasi anggaran perlindungan sosial juga penting untuk menjamin PPKM efektif. Karena kalau anggaran perlindungan sosial terlambat untuk diberikan, maka masyarakat akan beraktivitas di luar rumah," tuturnya.

Mengingat data penerima bansos yang kurang akurat, maka dapat disimpulkan pula data tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran terbuka dan gini rasio juga tidak akurat.

Bhima menilai, seharusnya angka-angka tersebut lebih besar. Apalagi selama ini gini rasio Badan Pusat Statistik (BPS) dikritik karena mengambil sampel pengeluaran bukan kekayaan.

"Jadi bandingkan ketimpangan perlu melihat data lain misalnya Credit Suisse dimana jumlah orang kaya naik 65.525 selama masa pandemi. Karena yang dihitung asetnya, jadi lebih riil," kata Bhima.

PPKM Darurat turut menyebabkan kondisi perekonomian masyarakat menurun. Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Konsultasi Pembangunan Kesehatan (LK2PK), Ardiansyah Bahar, mengatakan perlu ada skema lanjutan untuk membantu ekonomi rakyat kecil.

"Mesti ada skema penyelamatan ekonomi bagi masyarakat, utamanya bagi mereka yang bekerja di sektor informal," katanya. Ia melihat kasus aktif Covid-19 terus meningkat setelah lebih dari sepekan penerapan PPKM Darurat.

Bahkan saat ini sudah mencapai lebih 50 ribu sehari. "Hal ini diperparah dengan semakin gencarnya berbagai hoaks yang menyangkal adanya Covid-19," katanya.

Menurut Ardiansyah, masyarakat umum menjadi salah satu komponen suksesnya pelaksanaan PPKM Darurat, selain pemerintah dan sektor swasta. Ia mendorong pemerintah bersikap tegas, namun tetap manusiawi dalam mengawasi pelaksanaan PPKM Darurat.

"Sektor swasta harus saling dukung agar bisa bertahan di tengah pandemi ini. Tentu yang utama, perlu ada skema penyelamatan ekonomi dari pemerintah," katanya.

photo
PPKM Darurat - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement