Selasa 06 Jul 2021 14:17 WIB

China, Aktor Kekuatan Global Baru Saingi Blok G7?

Negara G7 masih melihat China yang menjadi kekuatan baru global sebagai ancaman

Rep: Anadolu/ Red: Elba Damhuri
Bendera China dan Amerika
Foto:

China menerapkan kapitalisme negara yang tidak didasarkan pada etos liberal Barat, dan tidak jelas untuk saat ini, apakah upayanya untuk menciptakan alternatif dari Konsensus Washington – kemungkinan Konsensus Beijing – akan membuahkan hasil.

Kuncinya ada di tangan rakyat, bukan pemimpin. Jika massa memilih untuk mendapatkan keuntungan lebih secara ekonomi dengan mengorbankan demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan individu, peluang AS akan berkurang, sementara pemerintah otoriter seperti Rusia dan China akan diuntungkan. Untuk alasan ini, pemerintahan Biden terus menekankan moto “hak asasi manusia universal”.

Tentu saja, tidak konsisten bagi AS untuk mengedepankan penekanan ini karena alasan ekonomi daripada alasan moral atau hati nurani, seperti masalah Palestina. Namun, tampaknya pemerintahan Biden akan terus menghakimi dan mengisolasi China karena menentang nilai-nilai universal, mengutip isu-isu sensitif seperti Turkestan Timur dan Hong Kong.

Sebaliknya, China akan menanggapi langkah-langkah ekonomi AS dengan senjata seperti undang-undang “anti-sanksi”, yang memaksa perusahaan swasta Barat untuk memilih antara AS dan China. Bahkan UE belum dapat mencapai konsensus sejauh mana kerjasama dengan China harus ditoleransi. 

Pertemuan Italia dengan China untuk berpartisipasi dalam Prakarsa Sabuk dan Jalan disambut dengan reaksi keras dari Jerman dan Prancis. Namun, negara-negara Eropa Barat, seperti Inggris, Jerman, Prancis, dan Belanda, serta negara-negara Eropa Tengah dan Timur yang relatif terlambat bergabung dengan Blok Barat, telah menandatangani banyak perjanjian kerja sama dengan China di berbagai bidang.

Semua ini adalah masalah yang sangat mengganggu AS. Hal yang sama berlaku untuk perjanjian dengan Rusia. Jerman berada di bawah tekanan AS karena pipa gas Nord Stream-2, seperti yang dialami Turki dengan masalah S-400. Dalam situasi apa pun, Washington tidak ingin kehilangan sekutunya ke Rusia atau China, atau membiarkan mereka menjadi tergantung pada keduanya.

Banyak negara, termasuk Turki, kemungkinan akan menghadapi tekanan yang meningkat untuk “memilih pihak” sebagai akibat dari perselisihan kapitalis ini. Dengan demikian akan menjadi semakin sulit untuk menerapkan strategi “penyeimbangan risiko” untuk memainkan kedua belah pihak bersama-sama.

Negara-negara Uni Eropa sudah mencari jalan keluar dari situasi ini. Selain KTT G7, negara-negara Eropa dikatakan telah melunakkan nada pesan anti-China AS di KTT NATO dan Uni Eropa.

Dalam hal ini, terlepas dari semua pesan peringatan dalam deklarasi akhir, negara-negara Uni Eropa, karena alasan ekonomi, tampaknya mengarahkan jalan yang lebih moderat daripada AS, menekankan dunia yang damai dan demokratis yang dibangun di atas transparansi dan akuntabilitas. Namun demikian, seperti halnya KTT NATO, China bersama dengan Rusia, tetap menjadi agenda utama KTT AS-Uni Eropa.

Meskipun masih menunjuk Rusia sebagai "musuh utama", NATO telah menyatakan bahwa mereka akan menghadapi tantangan strategis China, termasuk kampanye disinformasi. Meskipun Aliansi Atlantik tidak mendefinisikan China sebagai "ancaman militer langsung", namun NATO telah menyatakan ketidaknyamanannya dengan kebangkitan negara itu sesuai dengan Konsep Strategi 2030-nya.

China mengklaim bahwa semua tindakan ini hanya "melayani rencana untuk menciptakan lingkungan konflik di masa depan", dan NATO tidak dapat meninggalkan mentalitas Perang Dinginnya, mencoba menghalangi pertumbuhan damai China.

Seperti yang bisa dilihat, barisan semakin ketat dengan cepat. Pemerintahan Biden dan sekutu Eropanya sedang mencari “aliansi baru” dalam hubungan Transatlantik untuk menghapus kenangan menyakitkan dari era Trump, dan China sekarang menjadi target aliansi ini seperti halnya Rusia. Meskipun pemerintahan Biden kadang-kadang menegaskan kembali bahwa AS tidak berkonflik dengan China, melainkan dalam persaingan, Biden maju dengan kebijakan yang lebih luas dan lebih sistematis daripada pemerintahan Trump untuk menggulingkan saingannya dan mengkonsolidasikan hegemoninya. Dilihat dari reaksi awal dari China, pertarungan yang sulit sedang menunggu kita.

Menurut teori "keseimbangan kekuatan", jika langkah-langkah penyeimbangan internal dan eksternal gagal, tahap ketiga dan terakhir adalah perang. Kami berharap bahwa masyarakat internasional tidak akan ditarik ke dalam pertikaian seperti itu dan akal sehat akan cukup menang untuk mencegah perang dunia baru.

 

Sumber: https://www.aa.com.tr/id/berita-analisis/analisis-china-aktor-kekuatan-global-baru-dalam-hubungan-transatlantik/2284737

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement