REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakulyas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVIII/2020 hanya menguntungkan partai politik (parpol) yang sekarang berkuasa di parlemen. Dalam putusan MK tersebut, verifikasi faktual tak lagi diwajibkan bagi parpol peserta pemilu yang lolos verifikasi dan memenuhi ambang batas parlemen pada Pemilu 2019.
"Kita sudah bisa mengetahui bahwa ini adalah rekayasa untuk memperlancar partai yang ada di parlemen tanpa ada pesaing yang bisa muncul," ujar Feri dalam diskusi daring, Senin (14/6).
Feri mengatakan, tidak adil apabila verifikasi faktual hanya disyaratkan ke parpol yang tidak lolos DPR. Mestinya, menurut Feri, partai yang "bermasalah" atau "lemah" diberikan pendekatan tertentu agar bisa merefleksikan representasi publik atau kader-kader mereka yang tidak kuat sehingga bisa masuk ruang demokrasi, dalam hal ini pemilu.
Sementara, pendekatan yang lebih ketat harus diberlakukan kepada parpol yang sekarang lolos di Senayan, terutama mengenai pertanggungjawaban keuangan. Dia mengusulkan, dalam verifikasi faktual sebagai syarat partai menjadi peserta pemilu, parpol harus mempertanggungjawabkan semuanya sampai ke hal-hal yang detail dari proses penyelengaraan kepengurusan partai.
"Jadi, tidak hanya soal anggota, kantor, dan segala macamnya. Jauh lebih dalam dari itu," ujar Feri.
Selain soal pertanggungjawaban keuangan, parpol juga bisa dinilai berdasarkan sikapnya yang memberikan ruang kepada kelompok marginal, seperti kaum perempuan, penyintas disabilitas, dan sebagainya. Jika parpol tidak diisi dengan kader dari kalangan marginal, Feri menambahkan, bagaimana mungkin parpol yang lolos parlemen akan memikirkan nasib mereka melalui peraturan perundangan-undangan yang pro terhadap mereka.
"Jadi, aneh jika Mahkamah tidak berpikir sejauh itu, yang dipikirkan oleh Mahkamah, satu poin penting dalam putusan nomor 55 bahwa Mahkamah mempertimbangkan terhadap hal yang sama tidak boleh diperlakukan berbeda dan terhadap hal yang berbeda tidak boleh diperlakukan sama," kata Feri menjelaskan.
Artinya, kata dia, sembilan parpol yang sekarang memiliki wakilnya di DPR berbeda dengan partai nonparlemen. Dengan begitu, keduanya diperlakukan berbeda dalam hal syarat partai politik menjadi peserta pemilu.
Sebelumnya, dalam putusan Nomor 55/PUU-XVIII/202, MK menyatakan, Pasal 173 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan mengikat. Pasal tersebut berbunyi, "Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang lulus verifikasi oleh KPU."
MK kemudian memaknai Pasal 173 Ayat 1 UU Pemilu menjadi, "Partai politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos memenuhi ketentuan parliamentary threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi, namun tidak diverifikasi secara faktual. Adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan parliamentary threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD provinsi/kabupaten/kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD provinsi/kabupaten/kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual. Hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru."