Senin 14 Jun 2021 18:42 WIB

Varian Delta dan Fakta Mengapa Kita Harus Lebih Waspada

Menkes hari ini mengonfirmasi varian Delta ditemukan di DKI, Kudus, dan Bangkalan.

Pasien Covid-19 tanpa gejala turun dari bus sekolah setibanya di Graha Wisata Ragunan, Jakarta, Senin (14/6). DKI Jakarta menjadi salah satu daerah yang mengalami peningkatan kasus Covid-19 paling besar dalam sepuluh hari terakhir dengan peningkatan sebesar 302 persen. Republika/Putra M. Akbar
Foto:

Varian baru virus corona yang terdeteksi di India oleh WHO pada awal Juni dinamai varian 'Delta'. Menggunakan istilah dari Yunani bersama varian baru lainnya, WHO berusaha menghindari kesalahpahaman dan stigma negara pertama kali varian tersebut terdeteksi.

Dengan nama lain B.1.617.2, varian Delta pertama kali teridentifikasi di India pada Desember 2020. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular Amerika Serikat (CDC) menyebutnya sebagai mutasi atau subvarian dari varian B.1.617, sehingga dijuluki mutan ganda.

"Saat virus bermutasi dan berkembang, mereka terlihat seperti silsilah keluarga. Subvarian khusus ini telah menjadi malapetaka di India," kata pakar penyakit menular dan profesor kedokteran di University at Buffalo/SUNY, John Sellick, Rabu (9/6).

Setelah India, varian itu menyebar ke seluruh dunia, termasuk AS yang mengonfirmasi adanya enam persen varian Delta dari keseluruhan kasus Covid-19 di negaranya. Awal pekan ini, pakar penyakit menular nasional AS Anthony Fauci mewanti-wanti warganya agar mewaspadai varian Delta.

Varian Delta begitu mengkhawatirkan sebab memiliki beberapa mutasi pada protein lonjakan SARS-CoV-2, sehingga dapat menyebar lebih mudah daripada bentuk virus lainnya. CDC secara khusus mengatakan varian ini berpotensi mengurangi efektivitas vaksin melawan virus.

Potensi masalah lain dari varian Delta yakni risikonya pada kaum muda, termasuk bagi rentang usia yang belum memenuhi syarat untuk vaksin Covid-19. Terlebih, suatu varian virus memiliki kemampuan bertahan hidup serta dapat dengan cepat mengambil alih dan menjadi strain di suatu wilayah.

In Picture: Tingkat Keterisian Tempat Tidur di Jawa Barat Naik

photo
Keluarga pasien memberikan alat bantu pernapasan ke pasien sambil menunggu ruangan rawat inap di area ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Dokter Hasan Sadikin (RSHS), Kota Bandung, Ahad (13/6). Berdasarkan data dari Pusat Informasi dan Koordinasi Covid-19 Provinsi Jawa Barat (Pikobar) pada (12/6), tingkat keterisian tempat tidur atau Bed Occupancy Rate (BOR) rumah sakit yang melayani Covid-19 dan tidak melayani Covid-19 telah mencapai 67,31 persen dengan rincian sebanyak 9.120 dari total 13.550 tempat tidur telah terisi. Foto: Republika/Abdan Syakura - (REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA)

 

Dokter spesialis penyakit menular William Schaffner membandingkan Delta dengan B.1.351 (sekarang disebut Beta) yang awalnya terdeteksi di Afrika Selatan. Ada kemungkinan varian Delta bisa kembali menyerang pasien yang sudah divaksinasi.

Gejala varian Delta lebih banyak terlihat dalam wujud gangguan pencernaan, termasuk diare, sakit perut, kehilangan nafsu makan, dan mual. Selain itu, pasien juga diminta mewaspadai gejala lazim Covid-19 lainnya.

Beberapa di antaranya adalah demam, kedinginan, batuk, sesak napas atau sulit bernapas, kelelahan, nyeri otot, dan sakit kepala. Bisa pula berupa kehilangan indra perasa dan penciuman, sakit tenggorokan, pilek, dan hidung tersumbat.

Untungnya, vaksin yang kini beredar masih efektif melawan varian Delta. Meskipun, varian Covid-19 dengan mutasi L452R, yang dimiliki Delta, dapat menyebabkan penurunan dua kali lipat dalam titer penetralisir pada pasien yang terinfeksi.  

Tingkat penurunan protektivitas vaksin Covid-19 terhadap varian Delta belum diketahui secara jelas. Meski demikian, William Schaffner yang juga merupakan profesor di Vanderbilt University School of Medicine mengingatkan khalayak agar selalu optimistis dan melakukan langkah pencegahan yang memungkinkan.

"Jika varian ini sebagian dapat menghindari perlindungan vaksin, semakin banyak orang yang divaksinasi maka semakin kecil kemungkinannya untuk menyebar," ujar Schaffner, dikutip dari laman Health, Kamis (10/6).

Varian Delta juga menjadi penyebab gelombang infeksi baru di Inggris. Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock mengatakan, varian Delta 40 persen lebih menular dari virus corona biasa.

"Orang-orang yang telah menerima dua dosis vaksin virus corona harus sama-sama terlindungi dari kedua varian tersebut. Varian itu 40 persen lebih menular, ini adalah data terbaru yang saya miliki," ujar Hancock kepada Sky News, Ahad (6/6).

Menurut Public Health England, varian Delta saat ini menjadi strain yang dominan di Inggris. Hancock mengakui bahwa varian Delta membuat perhitungan lebih sulit untuk mencabut pembatasan sosial (lockdown) di Inggris.

Seorang pejabat tinggi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, setidaknya diperlukan 80 persen cangkupan vaksinasi Covid-19 untuk menurunkan resiko penyebaran varian baru Covid-19 secara signifikan. Dr. Michael Ryan, kepala kedaruratan WHO, mengatakan, bahwa tingkat cangkupan vaksinasi yang tinggi adalah jalan keluar dari pandemi ini.

Banyak negara kaya telah beralih untuk memvaksinasi remaja dan anak-anak, kelompok yang memiliki resiko lebih rendah dibanding lansia dan penderita penyakit penyerta. Namun, Ryan mengakui bahwa tidak ada data yang sepenuhnya jelas tentang berapa persentase cakupan vaksinasi yang diperlukan untuk menghentikan penularan virus.

"Tapi ... tentu saja cakupan 80 persen berada dalam posisi di mana Anda dapat secara signifikan memengaruhi risiko kasus impor yang berpotensi menghasilkan kasus sekunder atau menyebabkan klaster atau wabah," katanya, Selasa (8/6) pekan lalu.

“Jadi memang membutuhkan tingkat vaksinasi yang cukup tinggi, terutama dalam konteks varian yang lebih menular, agar aman,” ujar Ryan, menambahkan.

photo
Ilustrasi Kasus Covid-19 Naik - (republika/mardiah)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement