REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Satuan Tugas (satgas) Penanganan Covid-19 meminta seluruh rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk mematuhi instruksi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terkait penggunaan ivermectin. Obat jenis ini sebelumnya diklaim oleh pihak tertentu sebagai 'obat Covid-19' dan didistribusikan di Kabupaten Kudus. Padahal, pembeliannya harus dengan resep dokter dan penggunaannya perlu diawasi oleh dokter.
"Pada prinsipnya, sampai saat ini, penelitian terkait temuan obat dan upaya terapeutik untuk Covid-19 masih terus dilakukan," ujar Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito dalam keterangan pers, Jumat (11/6).
Pemerintah, ujar Wiku, masih perlu melanjutkan uji ilmiah untuk memastikan khasiat dan keamanan ivermectin dalam mendukung pengobatan Covid-19. Selanjutnya, uji klini mengenai ivermectin akan dilakukan di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, bersama sejumlah rumah sakit.
"Kehati-hatian sangat diutamakan dalam menggunakan obat ini dan harus berdasarkan rekomendasi dokter. Mohon daerah yang sudah terima (distribusi ivermectin), agar memastikan penggunaannya sesuai dengan rekomendasi BPOM," ujar Wiku.
Diberitakan sebelumnya, 2.500 dosis obat ivermectin didistribusikan di Kabupaten Kudus atau inisiasi Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Moeldoko. Obat ini diklaim sudah mengantongi izin edar dari BPOM.
Namun dalam pernyataan resmi BPOM pada Kamis (10/6) kemarin, dijelaskan bahwa ivermectin 12 mg terdaftar di Indonesia untuk indikasi infeksi kecacingan (Strongyloidiasis dan Onchocerciasis). Ivermectin juga ditegaskan sebagai obat keras yang pembeliannya harus dengan resep dokter dan penggunaannya di bawah pengawasan dokter.
"Ivermectin yang digunakan tanpa indikasi medis dan tanpa resep dokter dalam jangka waktu panjang dapat mengakibatkan efek samping, antara lain nyeri otot/sendi, ruam kulit, demam, pusing, sembelit, diare, mengantuk, dan Sindrom Stevens-Johnson," tulis BPOM dalam keterangan resminya.