REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Deddy Darmawan Nasution, Novita Intan
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengecam keras rencana pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) untuk kebutuhan pokok (sembako) masyarakat dan di sisi lain akan memberlakukan tax amnesty jilid 2 bagi pengusaha. KSPI menyebut, ini adalah cara-cara pemerintah meniru kolonialisme atau sifat penjajah.
Presiden KSPI Said Iqbal menilai, sangat tidak adil jika orang kaya diberi relaksasi pajak, termasuk produsen mobil, untuk beberapa jenis tertentu diberi pengenaan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) hingga nol persen. Namun, untuk rakyat kecil, sekadar untuk makan saja sembako dikenakan kenaikan pajak.
"Sekali lagi, ini sifat kolonialisme. Penjajah!" kata Iqbal dalam keterangan pers kepada wartawan, Jumat (11/6).
Iqbal menegaskan, kalau rencana menaikkan PPN sembako ini tetap dilanjutkan, kaum buruh akan menjadi garda terdepan dalam melakukan perlawanan, baik secara aksi di jalanan maupun mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Iqbal menyoroti rencana adanya kenaikan PPN berdampak pada harga yang barang akan naik. Hal ini akan merugikan masyarakat, terutama buruh, karena harga barang menjadi mahal.
"Sudahlah kaum buruh terjadi PHK di mana-mana, kenaikan upahnya dikurangi dengan omnibus law, nilai pesangon yang lebih kecil dari peraturan sebelumnya, dan pembayaran THR yang masih banyak dicicil, sekarang dibebani lagi dengan harga barang yang melambung tinggi akibat kenaikan PPN,” ucap Iqbal.
In Picture: Rencana Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Bagi Bahan Pokok
Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) pun secara tegas menolak rencana pemerintah mengenakan PPN terhadap sembako seperti yang tertuang dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Sekjen APTRI, Nur Khabsyin, meminta kebijakan itu dikaji ulang karena akan memberatkan kehidupan petani.
"Saya kira perlu dikaji ulang. Apalagi, saat ini masa pandemi dan situasi perekonomian sedang sulit. Ini akan berimbas ke seluruh Indonesia dan membuat gaduh masyarakat, terutama masyarakat petani," kata Khabsyin, dalam keterangannya diterima Republika.co.id, Jumat (11/6).
Menurut Khabsyin, selama ini petani tebu sudah dihadapkan pada beragam kebijakan yang memberatkan, seperti pengurangan subsidi pupuk, rendahnya HPP gula, hingga maraknya gula impor yang beredar di pasaran. Hal tersebut sudah membuat petani tebu menjadi tertekan.
"Ibaratnya, petani sudah jatuh tertimpa tangga. kalau PPN dipaksakan, petani siap demo ke Jakarta," ujar Khabsyin.
Sebetulnya, sebelum 2017 gula konsumsi sudah dikenakan PPN, tetapi petani tebu protes melalui unjuk rasa di Jakarta sehingga sejak 1 September 2017 gula konsumsi dibebaskan dari PPN. Pengenaan PPN, kata Khabsyin, dipastikan akan merugikan seluruh petani tebu yang di Indonesia.
“Pedagang akan membeli gula tani dengan memperhitungkan beban PPN yang harus dibayarkan. Ini tentu akan berdampak pada harga jual gula tani,” ujar Khabsyin.
Khabsyin mencontohkan saat ini harga jual gula di tingkat petani hanya laku Rp 10.500 per kg, apabila dikenakan PPN 12 persen, yang diterima petani tinggal Rp 9.240 per kg. Menurutnya, harga itu jauh di bawah biaya pokok produksi sebesar Rp 11.500 per kg. Padahal, pada 2020 gula tani laku Rp 11.200 per kg tanpa ada PPN.
Salah satu dasar pengenaan PPN sembako karena pemerintah (menkeu) menilai saat ini harga pangan naik 50 persen sehingga ada kenaikan nilai tukar petani (NTP).
"Ini jelas pernyataan yang ngawur, justru sekarang ini harga pangan turun, contohnya harga gula konsumsi turun dibanding tahun lalu karena impor kebanyakan dan daya beli menurun. Kalau terpaksa menarik PPN, seharusnya pada gula milik perusahaan-perusahaan/pabrik gula karena mereka sebagai pengusaha kena pajak (PKP), jangan gula milik petani," katanya menambahkan.