Rabu 09 Jun 2021 21:15 WIB

Dalih Pasal Penghinaan Presiden: Demi Batasan Bangsa Beradab

Pasal penghinaan presiden/wapres di RKUHP kini menjadi delik aduan.

Presiden Joko Widodo berada di dalam mobil kepresidenan. (ilustrasi)
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Presiden Joko Widodo berada di dalam mobil kepresidenan. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro, Rizky Suryarandika, Antara

Pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menuai polemik. Namun, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan, pasal itu bukan membatasi kritik, melainkan penegas batas masyarakat sebagai bangsa yang beradab.

Baca Juga

"Setiap orang memiliki hak hukum untuk melindungi harkat dan martabatnya," kata Yasonna melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu (9/6).

Menurut Yasonna, jika seorang individu dihina oleh seseorang, yang dihina punya hak secara hukum terhadap harkat dan martabatnya.

"Bukan sebagai pejabat publik. Saya selalu mengatakan kalau saya dikritik Menkumham tak becus, misalnya mengurus lapas atau imigrasi, tidak masalah dengan saya. Akan tetapi, kalau sekali menyerang harkat dan martabat saya, contoh saya dikatakan anak haram jadah, tidak bisa itu," ujarnya.

Oleh karena itu, sebagai bangsa yang beradab perlu ada batasan-batasan yang harus dijaga oleh setiap orang. Pasal penghinaan presiden/wapres yang diatur dalam RKUHP tersebut sama sekali tak berniat membatasi kritik.

Ia menekankan bahwa peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia membuka ruang atas kritik dari masyarakat.

"Bukan berarti mengkritik presiden salah. Kritiklah kebijakannya dengan sehebat-hebatnya kritik, tidak apa-apa. Bila perlu, kalau tidak puas, mekanisme konstitusional juga tersedia," kata Yasonna.

Yasonna mengeklaim, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak masalah dengan pasal tersebut. Lagipula menurutnya aturan tersebut penting tidak hanya untuk presiden saat ini saja, tetapi juga untuk presiden yang akan datang. 

 

"Mungkin saja satu di antara kita jadi presiden, atau bosnya pak Habiburohman (Anggota Komisi III Fraksi Gerindra), kita biarkan itu? Kalau bosnya Pak Benny masih lama barangkali. Misalnya, contoh. Ya kan? Masih muda, canda, canda," kelakar politikus PDIP itu.

 

Pasal penghinaan presiden dan wapres tertuang dalam BAB II tindak pidana terhadap martabat presiden/wapres bagian kedua penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden/wapres. Dalam Pasal 218 Ayat (1) disebutkan bahwa, "Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden/wapres dipidana paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV".

Sementara itu, Pasal 219 berbunyi, "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden/wapres. Hal itu dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV".

 

Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej, mengklaim pasal tersebut berbeda dengan pasal penghinaan presiden yang sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

"Jadi pasal penghinaan itu adalah pasal penghinaan terhadap kepala negara, yang pertama, itu berbeda dengan yang sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi," kata Edward di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin (7/6).

Edward menjelaskan, pada pasal penghinaan yang dicabut oleh MK merupakan delik biasa. Sementara, dalam RUU KHUP terbaru yaitu delik aduan.

"Kalau delik aduan, itu yang harus melapor sendiri adalah Presiden atau Wakil Presiden," ujarnya.

Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, memahami adanya perdebatan di publik terkait pasal penghinaan presiden di RUU KUHP. Sebab pasal tersebut sebelumnya diketahui telah dibatalkan MK.

Arsul mengungkapkan alasan pasal itu dipertahankan lantaran di KUHP terdapat pasal pidana menghina presiden, kepala pemerintahan atau kepala negara lain yang sedang berkunjung ke Indonesia.

"Masak menghina Presidennya sendiri dibiarkan begitu saja. Nah itu salah satu argumentasinya," kata Arsul kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (8/6).

Arsul menjelaskan agar pasal tersebut tidak menabrak putusan MK, maka di dalam pasal penghinaan presiden itu sifat deliknya diubah. Sebelumnya penegak hukum bisa menindak langsung jika ada dugaan tindakan penghinaan presiden. Setelah diubah menjadi delik aduan, maka harus ada yang bisa mengadu yaitu Presiden.

"Dalam hal ini disepakati, Presiden sibuk, bisa diwakilkan. Itu argumentasi tidak menabrak MK karena sifat deliknya sudah berubah," jelasnya.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai kritik terhadap Kepala Negara dan lembaga negara merupakan hal wajar. Ia tak sepakat dengan rencana penghidupan pasal penghinaan Presiden dan lembaga negara dalam RKUHP.

Asfinawati mendesak pemerintah dan parlemen menaati prinsip demokrasi. Ia menyayangkan semangat demokrasi yang kian redup dalam pembahasan RKUHP.

"Presiden, DPR itu memang harus dikritik karena lembaga publik. Kalau enggak boleh dikritik maka namanya bukan demokrasi lagi," kata Asfinawati kepada Republika, Selasa (8/6).

Asfinawati menyinggung secara khusus perubahan yang diklaim dimuat dalam pasal penghinaan Presiden terbaru. Menurutnya, delik aduan yang dicantumkan tak tepat karena jabatan Presiden bukan mewakili individu.

"Delik aduan lebih baik, meski tetap aneh karena esensinya Presiden kan lembaga negara, bukan orang," ujar Asfinawati.

photo
Berapa THR untuk Jokowi - (Republika/ Kurnia Fakhrini)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement