REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR sekaligus anggota DPR Arsul Sani mendukung pasal penghinaan Presiden sebagaimana diatur dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) terbaru. Menurutnya, pasal itu tak akan menabrak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang pernah membatalkan pasal serupa.
Arsul menjelaskan, saat pembahasan pasal RKUHP terkait penghinaan Presiden memang menghadirkan perdebatan panjang di parlemen. Sebab, ada putusan MK yang membatalkan pasal-pasal penghinaan Presiden di KUHP sekarang.
"Dari perdebatan panjang tersebut, maka akhirnya muncul kesepakatan bahwa pasal tersebut tetap ada. Tetapi, sifat deliknya harus diubah dari delik biasa yang sebelumnya ada di KUHP saat ini menjadi delik aduan sebagaimana pasal penghinaan terhadap orang biasa," kata dia kepada Republika, Selasa (8/6).
Arsul meyakini, perubahan delik dalam pasal penghinaan Presiden tak bertentangan dengan putusan MK. "Ini yang pemerintah dan DPR yakini bahwa dengan merubah sifat delik tersebut maka tidak menabrak putusan MK dimaksud," ujarnya.
Selain itu, Arsul menyampaikan, partainya bisa menerima jalan tengah dengan mengubah sifat delik menjadi aduan tersebut. Hanya saja, dia meminta, agar pasal ini tetap tidak menjadi pasal karet, meski delik bersifat aduan.
Arsul tak ingin pasal itu digunakan sebagai "senjata" penguasa. Dia mengimbau, harus ada pembeda antara kritik dengan penghinaan yang dimaksud dalam pasal tersebut.
"Untuk itu, PPP menghendaki ada penjelasan pasal yang memagari apa yamg dimaksud penghinaan untuk membedakannya dengan kritik terhadap pemerintah atau Presidenn," imbau Wakil Ketua PPP itu.
Diketahui, RKUHP memuat ancaman pidana maksimal 4,5 tahun penjara bagi orang-orang yang menghina kepala negara melalui media sosial. Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 218 ayat 1 dan Pasal 219 yang bunyinya:
Pasal 218 (1): Setiap orang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau denda paling banyak kategori IV.
Pasal 219: Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.