REPUBLIKA.CO.ID, TASIKMALAYA -- Selama ini batik sukapura belum banyak dikenal masyarakat luas. Padahal, batik ini dinilai sebagai salah satu harta karun wastra dari Jawa Barat.
Salah seorang perajin batik sukapura, Aah (54 tahun) mengaku, dalam satu hari hanya mampu mencanting satu atau dua helai kain batik. Sebab, proses mencanting satu kain tak bisa dilakukan dengan cepat.
"Memang seperti ini membuat batik tulis, prosesnya lama," kata perempuan yang telah belajar membatik sejak belia itu di Tasikmalaya pada Rabu (2/6).
Ia menambahkan, saat ini para perajin batik yang ada di Tasikmalaya, khususnya Desa Janggala, tinggal sedikit jumlahnya. Berbeda kondisinya ketika ia masih kecil.
Menurut Aah, salah satu alasan tak adanya regenerasi perajin batik adalah karena saat ini orang tua enggan mengajarkan anaknya membatik. Orang tua saat ini lebih ingin anak-anaknya bekerja dengan pekerjaan yang lebih "bersih".
"Saya juga enggak mau mengajarkan anak membatik. Karena kerjaannya kotor, uangnya sedikit. Anak sekarang juga susah kalau diajar membatik," kata Aah.
Salah satu perajin batik di Kelompok Batik Tulis Karuhun Sukapura adalah Mila (31). Perempuan itu mengaku sudah mulai belajar membatik sejak masih duduk di sekolah dasar. Namun, ia sempat berhenti membatik dan beralih bekerja ke profesi lain.
"Sekarang ada kelompok ini, saya jadi ikut lagi. Sejauh ini saya menikmati," kata dia.
Tugasnya dalam kelompok batik tulis itu adalah membuat pola motif batik. Dalam sehari, ia bisa mengerjakan motif maksimal untuk dua kain. Rata-rata, sebulan ia hanya mendapat upah Rp 200 ribu. Angka itu dinilai lumayan baginya, yang baru memulai membatik kembali.
"Sekalian belajar saja," kata dia.
Mila mengatakan, salah satu alasannya kembali ingin membatik adalah mau melestarikan batik sukapura. Selain itu, menurut dia, saat ini penghasilannya dari membatik lebih tinggi.
"Jadi sekalian bisa membantu keluarga," kata perempuan yang telah memiliki dua orang anak itu.