REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Staf Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga, Kementerian Luar Negeri, Muhsin Syihab menilai kekerasan yang terjadi di Palestina, bukanlah sebuah konflik antar dua kelompok Palestina dan Israel. Namun kata Muhsin, kejadian demi kejadian di kawasan tersebut lebih nampak sebagai penjajahan dari komunitas satu terhadap komunitas lainnya.
"Apa yang terjadi di Palestina bukan konflik, tapi yang terjadi adalah penjajahan,” kata Muhsin Syihab melalui pers rilis dalam diskusi virtual bertema “Solidaritas Indonesia bagi Rakyat di Wilayah Pendudukan Israel atas Palestina" pada Sabtu, (22/5)
Ia merujuk temuan pelapor khusus PBB Makarim Wibisono yang mengungkapkan ketidakberdayaan kelompok Palestina atas dominasi Israel seperti penangkapan sepihak, dan penahanan dalam jangka waktu yang lama.
Menurutnya, selama penjajahan terjadi pihak Palestina nampak sangat tidak berdaya melawan kekuatan Israel selama penjajahan berlangsung.
Karena itu, ia menilai perlunya intervensi komunitas internasional seperti PBB, OKI dan komunitas dunia lain dalam rangka membantu Palestina keluar dari penjajahan tersebut.
Meskipun begitu, Dia menyadari ada sejumlah tantangan dari upaya penyelesaian tersebut, yakni dinamika di dalam tubuh PBB yang mendukung kelompok Israel. Dukungan tersebut membuat keberpihakan PBB pada Palestina berkurang.
“Ada perbedaan pandangan dalam PBB. Beberapa negara selalu nyatakan kecaman terhadap aksi teror dan dukungan terhadap hak Israel untuk membela diri. Ditambah lagi hak veto anggota tetap DK PBB yang dapat menghambat aksi DK PBB,” ujar Muhsin.
Sementara, Pengamat Hubungan Internasional & Founder of Synergy Policies, Dinna Prapto Rahardjo menilai tantangan lain penyelesaian masalah Palestina ini datang dari dunia Arab yang terikat kepentingan perdagangan dengan Israel, seperti Turki, Mesir, Qatar, Arab Saudi, Pakistan, dan yang lain. Kepentingan ini membuat suara negara-negara Arab tidak sepenuhnya utuh dalam membela Palestina.
Ia menilai persekutuan antarnegara Arab dan negara-negara mayoritas Islam yang cenderung tidak bertahan lama.
“Faktornya adalah ekonomi, takhta, dan sistem pemerintahan. Ini dipahami betul oleh Israel, sehingga melemahkan solidaritas terhadap Palestina,” ujar Dinna Prapto.
Ia menjelaskan, dalam kondisi ketidaksolidan kelompok Arab, Israel justru memperkuat jejaring ekonominya hingga ke luar komunitas Arab yang membuatnya memiliki banyak relasi dalam mendukung kepentingannya. Inilah menurutnya, yang membuat Amerika Serikat selalu ikut apapun suara dari Israel dalam kasus Palestina.
“Ekspansi perdangan Israel dilakukan ke berbagai negara mulai dari negara-neagra kecil sampai ke negara besar, mulai pertanian, industri, teknologi dan yang lain. Banyak negara mengadopsi dari Israel, dan Israel memanfaatkan ketergantungan negara-negara itu. Sedangkan lingkaran dalam yakni negara-neagra mayoritas Muslim sibuk dengan kesibukan internal, termausk konflik antarnegara muslim,” kata Dia.
Sementara itu, peran Indonesia, menurut Dinna belum maksimal. Hal iitu dikarenakan dalam peta politik yang dibangun Indonesia berada jauh diluar konflik langsung.
“Indonesia tidak berada di sentral lingkarang, berada di luar yang relatif jauh. Karena keberadaan Indonesia tidak langsung berkenaan dengan keseharian mereka,” katanya.