Sabtu 08 May 2021 16:37 WIB

Lakpesdam PBNU Minta Presiden Batalkan TWK KPK

TWK tidak bisa dijadikan alat untuk mengeluarkan pegawai KPK.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Muhammad Fakhruddin
TWK KPK, Lakpesdam PBNU: Bukan Tes ASN.
Foto: [ist]
TWK KPK, Lakpesdam PBNU: Bukan Tes ASN.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lakpesdam PBNU) meminta tes wawasan kebangsaan (TWK) yang diselenggarakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukan tes masuk menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Pegawai KPK yang dites adalah mereka yang sudah lama bekerja di KPK, terbukti memiliki kompetensi dalam pemberantasan korupsi, dan sebagian menangani kasus korupsi mega proyek yang serius.

“Oleh karena itu, TWK tidak bisa dijadikan alat untuk mengeluarkan pegawai KPK yang sudah lama bergelut dalam pemberantasan korupsi,” kata Ketua Lakpesda PBNU, Rumadi Ahmad dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Sabtu (8/5).

Rumadi menambahkan ada beberapa hal lain yang perlu dilakukan. Pihaknya meminta Presiden Joko Widodo untuk membatalkan TWK yang dilakukan terhadap 1.351 pegawai KPK. Sebab, pelaksanaan TWK itu dinilai cacat etik-moral dan melanggar hak asasi manusia (HAM) yang dilindungi oleh UUD 1945.

Selain itu, pihaknya juga meminta Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk mengusut dugaan pelanggaran hak-hak pribadi, pelecehan seksual, rasisme, dan pelanggaran lain yang dilakukan pewawancara kepada pegawai KPK.

“Kami meminta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) agar mengembalikan TWK untuk calon ASN sebagai uji nasionalisme dan komitmen bernegara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,” ujar dia.

Lebih lanjut dia mengajak masyarakat untuk terus mengawal dan menguatkan KPK dengan cara menjaga independensinya dari pengaruh-pengaruh eksternal yang bertujuan melemahkan dan melumpuhkan KPK.

“Kita butuh lembaga KPK yang independen, kompeten, dan loyal terhadap Pancasila dan UUD 1945 untuk memberantas musuh terbesar bangsa Indonesia, yaitu korupsi,” kata dia. 

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement