Jumat 07 May 2021 13:46 WIB

Bahaya dari Pembiaran Mutasi Covid-19

Semakin tinggi kasus mutasi virus corona, maka efek buruknya pun bertambah.

Mahasiswa menggambar mural bertema Covid-19. Masuknya varian mutasi Covid-19 dari luar negeri ke Indonesia harus disambut dengan disiplin prokes yang ketat serta penguatan 3T.
Foto:

Epidemiolog Griffith University Australia, Dicky Budiman, menilai mutasi virus sangat umum terjadi pada jenis RNA seperti Covid-19. "Mutasi virus merupakan satu hal yang lazim pada virus RNA (termasuk Covid-19). Itu jelas," kata Dicky saat dihubungi Republika.

Ia menambahkan, mutasi virus terjadi karena adanya replikasi orang yang terinfeksi dan virus ini kemudian leluasa menginfeksi. Ia menambahkan, virus bisa menginfeksi karena upaya 3T tidak memadai serta upaya protokol kesehatan 5M juga abai. Akibatnya, potensi mutasi virus menyebar ke mana-mana sangat besar, contohnya kasus B117.

Meski sebagian besar mutasi virus tidak membahayakan, Dicky mengingatkan bukan berarti adanya varian baru virus ini dibiarkan. Ia mengingatkan, varian baru virus ini berpotensi menyebabkan terjadinya transmisi lokal karena situasi pandemi Covid-19 di Indonesia yang tidak terkendali.

"Kita tidak bisa mengendalikan orang-orang yang terinfeksi," ujarnya.

Terkait seberapa jauh virus ini bermutasi, Dicky mengatakan kepastiannya memerlukan surveilans genomik. Namun, dia menyampaikan pesan pentingnya adalah peningkatan kewaspadaan.

"Respons kita tidak bisa sama saja. Upaya 5M yang dilakukan masyarakat harus meningkat kuantitas dan kualitasnya, misalnya masker dua lapis, jaga jarak. Dan upaya ini harus konsisten," katanya.

Ia meminta upaya penerapan protokol kesehatan ini tidak boleh diabaikan lagi karena varian baru virus yang masuk ini sangat berbahaya. Ia mengingatkan, varian baru virus ini bisa mengakibatkan terjadinya perburukan pandemi.

Sejauh ini, Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman menilai jumlah mutasi virus yang masuk ke Indonesia masih sedikit. "Jumlahnya masih sedikit, sehingga belum cukup menggambarkan ada atau tidaknya transmisi lokal," ujar Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Amin Soebandrio saat dihubungi Republika.

Ia menambahkan, indikator terbaik ketika varian baru virus mengalami transmisi lokal adalah jika muncul klaster. Ia menambahkan, Jika terjadi klaster besar dan atau yang muncul dalam waktu singkat, perlu dicurigai disebabkan oleh mutan atau varian baru.

Jadi, perlu dilakukan WGS untuk membuktikannya. Ia menambahkan, dari WGS inilah dapat dilihat adanya mutasi dan dianalisis kekerabatan virus dengan virus-virus sebelumnya dan keterkaitan antar kasus, termasuk perkiraan pergerakan manusianya.

"Mudah-mudahan (transmisi mutasi virus) tidak terjadi," katanya.

Sementara itu upaya mencegah penyebaran mutasi virus corona tidak hanya dengan membatasi mobilitas, seperti mengikuti anjuran pemerintah yang melarang mudik. Tertib protokol kesehatan meski sudah divaksinasi tidak kalah pentingnya.

Epidemiolog Universitas Gadjah Mada, dr Riris Andono Ahmad, mengatakan hingga saat ini belum ada vaksin yang 100 persen bisa mencegah terpapar Covid-19. "Hingga saat ini belum ada vaksin dengan efikasi (kemanjuran) 100 persen. Jadi walau sudah divaksin tetap masih harus menjalankan prokes untuk melindungi orang-orang di sekitar kita, terutama yang belum divaksin," kata Riris Andono melalui keterangan tertulis di Yogyakarta, Jumat.

Ia menyebutkan vaksin Sinovac di Indonesia memiliki efikasi sebesar 65,3 persen. Artinya, dari 100 orang yang divaksin masih ada kemungkinan sebanyak 34,7 persen masyarakat yang bisa terinfeksi Covid-19.

Hanya saja orang yang telah divaksin memiliki risiko keparahan sakit akibat Covid-19 lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak divaksin. "Kita tidak tahu menjadi bagian yang 65 persen atau 35 persen Karenanya mau tidak mau harus tetap mematuhi protokol kesehatan 5M," kata dia.

Sementara pada vaksin Covid-19 lainnya memiliki efikasi yang berbeda. Misalnya, vaksin Pzifer memiliki efikasi 95 persen dan vaksin Moderna dengan efikasi 94,5 persen. Dengan efikasi yang lebih tinggi akan lebih memproteksi terhadap infeksi Covid-19.

"Memang akan lebih memproteksi, tetapi dengan durasi imunitas yang terbatas jika tidak mampu meng-cover 70 persen populasi dalam waktu durasi imunitasnya maka penularan akan tetap terjadi," kata dia.

Kekebalan kelompok atau herd immunity baru dapat tercapai apabila 70 persen populasi telah memiliki kekebalan dalam jangka waktu durasi imunitas. Riris kembali menyampaikan sampai sekarang belum ada satupun vaksin dengan efikasi 100 persen. Masyarakat pun tetap diminta untuk disiplin menerapkan protokol kesehatan pencegahan Covid-19.

"Kalau ada vaksin dengan kemanjuran 100 persen dengan durasi imunitas yang panjang selama ini bisa menjadi teknologi ideal menghentikan pandemi," ujar dia

photo
Infografis Mutasi Virus Corona - (republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement