Senin 26 Apr 2021 23:19 WIB

Mantan Napiter: Jangan Kucilkan Orang Terpapar Radikalisme

Mantan napiter menilai orang terpapar radikalisme justru harus dirangkul

Mantan napiter menilai orang terpapar radikalisme justru harus dirangkul. Ilustrasi radikalisme
Foto: Antara/Widodo S. Jusuf
Mantan napiter menilai orang terpapar radikalisme justru harus dirangkul. Ilustrasi radikalisme

REPUBLIKA.CO.ID, TARAKAN— Mantan narapidana teroris (napiter) Arif Budi Setyawan meminta masyarakat tidak memberikan sanksi sosial dengan mengucilkan orang yang terpapar dengan paham radikalisme.

"Ini tindakan keliru, mereka yang terjerumus harusnya dirangkul dan dibina karena kalau dijauhi mereka justru bisa kian jauh tersesat," kata mantan aktivis radikalisme-terorisme 2002-2014 di Tarakan, Kalimantan Utara, Senin (26/4).

Baca Juga

Hal itu diungkapkan saat menjadi narasumber dalam dialog interaktif digelar BEM (Badan Ekskutif Mahasiswa) Nusantara Kalimantan Utara dengan tema "Upaya Memahami dan Menangkal Radikalisme, Terorisme dan Intoleransi di Kaltara".

Ibarat tanaman, kata mantan napiter yang bebas 23 Oktober 2017, mereka yang terpapar akan layu jika dikurung."Justru lebih berbahaya saat mereka disisihkan dalam pergaulan sosial," ujar Arif yang kini aktif jadi peneliti dan praktisi radikalisme-terorisme di Kreasi Prestasi Perdamaian 2019.

Dengan perkembangan media sosial sekarang, akhirnya mereka mencari kelompok yang sepaham dengannya.Kontra narasi saat ini sangat penting karena berdasarkan pengalamannya saat "tersesat", berawal dari sering membaca tentang tertindasnya umat Islam oleh Amerika.

"Pencegahan radikalisme dan terorisme adalah tanggung jawab bersama untuk mendorong lebih masif kontra narasi di media massa dan media sosial," kata penulis buku "Internetistan Jihad Zaman Now" dan novel "Angin dan Bidadari" itu.

Sebelumnya, narasumber lain dari Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme Kaltara Datu Iskandar Zulkarnaen memaparkan tentang potensi radikalisme di provinsi termuda itu.Salah satunya, literasi digital belum mampu menangkal radikalisme dan menumbuhkan nilai kebhinekaan dalam masyarakat.

Seperti juga daerah lain di Indonesia, indeks potensi radikalisme lebih tinggi pada mereka yang punya akses internet, khususnya masyarakat urban dan milenial.Secara nasional, ia menyebut, dari 47 ribu media siber di Indonesia baru 2.700 terverifikasi Dewan Pers. 

Artinya masih ada puluhan ribu media online rawan disusupi berita yang bisa menyesatkan. "Begitu pula kita melihat di media sosial maka lebih banyak konten yang bisa menjerumuskan ketimbang mencerahkan sehingga ini tanggung jawab kita semua," kata Datu Iskandar.

Menjawab pertanyaan mahasiswa tentang cara mudah memahami tentang radikalisme, salah satunya jika ada sikap menyangkal empat pilar kebangsaan Pancasila, UUD 1945, Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhinneka Tunggal Ika. "Jadi membentengi diri dari radikalisme juga harus memahami tentang empat pilar kebangsaan ini," katanya, sembari menambahkan perlunya  mata kuliah khusus tentang pencegahan radikalisme, terorisme dan intoleransi, mengingat peran pemuda begitu strategis sebagai agen perubahan.    

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement