Hasanuddin Ali menyampaikan hal serupa. Kata dia, butuh upaya keras untuk melawan paham radikalisme dan intoleransi. Pasalnya, paham intoleransi dan radikalisme sudah masuk ke semua sektor sampai ke kampus-kampus negeri terutama di fakultas sains atau eksakta.
Kata dia, dari hasil riset Badan Nasional Penanganan Terorisme (BNPT) diketahui radikalisme menguat di tiga entitas. Tiga entitas itu adalah perkotaan, kelompok milenial atau anak muda, dan perempuan. Dua kasus terakhir bom Makassar dan Mabes Polri adalah orang kota, muda, dan perempuan.
Kata dia, beberapa tahun terakhir pelaku tindak teroris makin muda. Dulu, orang pelaku terorisme butuh 3-5 tahun untuk melakukan tindak terorisme. Hari ini karena faktor digital dan sosial media yang gencar, hanya butuh 6 bulan sampai 1 tahun untuk mempengaruhi pelaku teror.
Karena itu, penting bagi BPIP selain melakukan mitigasi anak-anak milenial juga perempuan
Hasanuddin mengungkapkan, akademisi luar biasanya menyebut penyebab utama radikalisme adalah kemiskinan. Namun dari berbagai serangan teror di Tanah Air diketahui mereka yang terpapar radikalisme bukan dari kelompok miskin. Dari hasil kajian Alvara disebutkan tidak ada satu korelasi signifikan keterpaparan radikal dengan ekonomi. "Justru kita lihat kelas menangah yang banyak terpapar paham radikal," ujarnya.
Bagaimana solusinya? Menurut dia, salah satu melawan radikalisme itu membumikan Pancasila. Tidak hanya dalam teori tapi harus merembes sampai ke masyarakat. "Misalnya melalui gaya hidup atau bentuk-bentuk aktualisasi Pancasila. Seperti dalam budaya dan sebagainya," ujarnya.
Penting juga menghidupkan soal kebudayaan. Menurut dia, nilai norma lokal atau kearifan lokal sangat penting untum dijaga. Begitu juga dalam ekonomi. "Semua aspek kehidupan masyarakat harus bisa diwarnai nilai Pancasila. Tidak mudah tapi tetap harus kita lakukan," ungkapnya.
Hasanuddin mengungkapkan seseorang itu tidak ujug-ujug jadi pelaku teror. Tapi ada tahapannya. Dimulai dengan berpikir ekslusif, intoleran, radikalisme dan terorisme. Mengatasi ini butuh pendekatan keagamaan dan pendekatan kebudayaan. Karena itu, penting menghidupkan diskusi lintas keilmuan dengan kiterarur beragam di masjid kampus. Selain itu, persiapkan publik figur di kalangan mereka yang bisa dijadikan contoh. Pasalnya anak muda lebih horizontal, lebih mendengar teman seusianya dari pada senior atau orang tuanya.
Sementara itu, Adib Abdusomad menyampaikan penting menciptakan karakter pelajar yang unggul di bidang keilmuan dengan karakter agama Islam wasathiyah atau yang moderat. Sehingga tidak anti terhadap kearifan lokal.
Selain itu, kata dia perlu menghidupkan Implementasi model penafsiran baru Pancasila yang dapat dikaji ragam disiplin ilmu dan ragam intetitas termasuk oleh para remaja. Hal ini penting karena pembumian Pancasila tak bisa formal atau melalui kenegaraan. Karena khawatir yang muncul adalah indoktrinasi yang justru kontra produktif.