REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rr Laeny Sulistyawati, Sapto Andika Candra
Menurunnya kasus aktif Covid-19 di Indonesia juga berdampak pada rasio keterisian tempat tidur (BOR) di Rumah Sakit (RS) yang menangani virus ini juga berkurang. Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) mencatat BOR di RS yang menangani pasien Covid-19 kini sebanyak 36,5 persen per 5 April 2021.
"BOR 36,5 persen per 5 April 2021. Terasa sekali adanya penurunan kasus di ruang isolasi biasa," kata Sekretaris Jenderal Persi Lia G Partakusuma saat dihubungi Republika, Kamis (22/4).
Kendati demikian, pihaknya mencatat hunian pasien Covid-19 di ruang ICU belum banyak berkurang. Terkait RS rujukan di Tanah Air yang menangani pasien Covid-19, Lia menyebutkan, totalnya sekitar 900-an. Kendati demikian, dia melanjutkan, RS non-rujukan juga menerima pasien Covid-19.
"Jadi tidak dibatasi, jadi mau RS rujukan atau tidak boleh saja terima pasien Covid-19. Beberapa waktu lalu kan sekitar 2 ribuan RS yang pernah melayani Covid-19 menagihkan klaim Covid-19," katanya.
Walaupun kasus Covid-19 berkurang, pihaknya mengupayakan stok obat-obatan untuk pasien Covid-19 tetap tersedia karena ini yang perlu diantisipasi. Persi berharap kasus Covid-19 tidak meledak seperti beberapa waktu yang lalu.
Sementara itu, dia melanjutkan, sebagian tenaga kesehatan (nakes) yang ada di mess rumah sakit sudah pulang dan bekerja seperti biasa. Namun, ia menegaskan, ada beberapa relawan di rumah sakit yang masih dipertahankan karena khawatir pasien Covid-19 bisa tiba-tiba bertambah.
"Kami sudah antisipasi siap-siap," ujar Lia.
Lia mengakui, sebagian ruang ICU untuk pasien Covid-19 kini dialihkan merawat pasien biasa karena berkurangnya pasien. Tetapi, banyak juga ruang ICU yang tetap beroperasi meski tidak penuh.
Jadi, dia menambahkan, ruang ICU khusus untuk pasien Covid-19 ini memang belum hilang sama sekali karena masih ada pasien yang dirawat, bahkan meninggal karena Covid-19 meskipun jumlahnya tidak sebanyak beberapa bulan lalu. Oleh karena itu, ia meminta rumah sakit harus mengalokasikan cadangan tempat tidur untuk antisipasi lonjakan kasus Covid-19 setelah mudik.
"Diperkirakan pemudik kembali lagi sekitar tanggal 19 Mei, RS harus berjaga-jaga jangan sampai nanti ada lonjakan kasus. Jadi jangan semua ditutup, tetap harus dicadangkan," ujarnya.
Jika upaya ini tidak dilakukan, Persi khawatir ada penambahan kasus drastis dua pekan setelah mudik. Apalagi, dia menambahkan, organisasi kesehatan dunia PBB (WHO) juga sudah mengingatkan supaya hati-hati ketika kasus Covid-19 turun karena virus ini masih ada. Oleh karena itu, dia melanjutkan, Persi sedang membuat surat edaran yang isinya mengingatkan rumah sakit untuk siap siaga menghadapi kasus setelah mudik.
"Rencananya surat edaran ini disebarkan kepada 3.020 rumah sakit, baik rujukan maupun tidak pada awal Mei mendatang," katanya.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) mengakui, kasus aktif Covid-19 di Tanah Air mengurangi keterisian pasien di rumah sakit dan mengurangi beban kerja. Namun, beban kerja perawat menangani pasien Covid-19 di ruang ICU tak berkurang banyak dan masih tinggi.
Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadhillah mengakui, beban kerja perawat di ruang isolasi, di ruang rawat biasa di rumah sakit lapangan atau rumah sakit darurat itu pada umumnya cenderung berkurang.
"Tetapi, beban kerja perawat di ruang ICU RS menangani Covid-19 masih banyak atau tinggi, artinya penurunannya sangat sedikit. Mungkin banyak kasus yang berat," katanya saat dihubungi Republika, Kamis (22/4).
Terkait jumlah perawat yang memberi pelayanan Covid-19, Harif mengakui PPNI belum mencatat perawat yang menangani Covid-19. Ia beralasan, jumlahnya sangat dinamis seiring dengan pertambahan kasus.
"Kami tidak memiliki angkanya. Semakin banyak mobilisasi dan kasus maka bisa semakin banyak ditangani perawat," katanya.
Harif juga mengingatkan angka penurunan kasus Covid-19 di Indonesia belum tentu menjadi sebuah indikator selesainya pandemi. Ia menyontohkan India yang kasusnya sempat turun tetapi sekarang melonjak naik, bahkan sampai harus menerapkan lockdown kembali.
Bahkan, dia melanjutkan, hampir semua negara di Asia menunjukkan peningkatan kasus. Oleh karena itu; Harif mengingatkan penurunan kasus di Indonesia jangan jadi sebuah euforia dan perlu diwaspadai datangnya gelombang kedua infeksi.
In Picture: Prokes Terminal Tirtonadi Jelang Larangan Mudik
Ancaman lonjakan kasus
Meski saat ini grafik pandemi Covid-19 di Indonesia berada pada tren menurun, ancaman lonjakan kasus Covid-19 sebenarnya masih nyata. Setelah menunjukkan penurunan kasus secara konsisten sejak akhir Januari hingga awal April 2021, tren grafiknya menjadi stagnan dan cenderung mulai menanjak sejak awal April sampai hari ini.
Pemerintah perlu mewaspadai fenomena ini, terlebih mengantisipasi periode libur Lebaran. Pada Kamis (22/4) ini, tercatat ada 6.243 kasus positif baru. Angka ini sekaligus yang tertinggi dalam dua pekan terakhir. Penambahan kasus harian di atas 6.500 orang terakhir dilaporkan pada Ahad (4/4).
Selain itu, angka positivity rate Covid-19 harian khusus untuk pemeriksaan PCR masih konsisten di atas 20 persen. Seperti pada hari ini, positivity rate dengan tes PCR mencapai 21,29 persen.
Pada penambahan kasus hari ini, Jawa Barat menjadi provinsi yang melaporkan angka tertinggi yakni 1.358 kasus baru. Posisi kedua ditempati DKI Jakarta dengan 1.266 kasus. Menyusul kemudian ada Jawa Tengah dengan 600 kasus, Riau dengan 419 kasus, dan Jawa Timur dengan 291 kasus.
Selain itu, dilaporkan juga ada penambahan pasien sembuh dari Covid-19 sebanyak 5.993 orang. Sehingga jumlah pasien yang berhasil sembuh dari Covid-19 mencapai 1.481.449 orang.
Sayangnya angka kematian terus meningkat. Pada hari ini dilaporkan ada 165 kematian akibat Covid-19. Sehingga jumlah keseluruhan pasien yang meninggal dunia dengan status positif Covid-19 mencapai 44.172 orang.
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito pun mengakui, Indonesia masih dihadapkan pada ancaman lonjakan kasus, seperti yang dialami negara-negara lain seperti India, Filipina, hingga sejumlah negara Eropa. Lonjakan ini, menurut Wiku, terutama disebabkan mulai abainya warga dalam menjalankan protokol kesehatan.
Ancaman lonjakan kasus Covid-19 yang mengadang, terutama menjelang Lebaran, akhirnya membuat pemerintah mengambil kebijakan tak populer, yakni melarang mudik. Tak hanya itu, dalam kurun waktu H-14 hingga H+7 peniadaan mudik, syarat perjalanan juga diperketat.
"Pencapaian Indonesia dalam menekan kasus selama 4 bulan terakhir ini perlu kita jaga, jangan sampai kita melakukan kesalahan yang sama dengan yang dilakukan negara lain dengan lengah dan tidak meningkatkan disiplin terutama jelang periode libur Idul Fitri," ujar Wiku dalam keterangan pers, Kamis (22/4).