REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perdagangan karbon (carbon trading) menjadi tren secara global. Jenis perdagangan ini merupakan kegiatan jual-beli sertifikat yang diberikan kepada negara yang berhasil mengurangi emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim.
Pada awal 2020, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkap potensi pendapatan tambahan dari transaksi jual-beli sertifikat emisi karbon Rp 350 triliun. Hal ini mendorong pemerintah menyiapkan aturan dalam bentuk Peraturan Presiden.
CEO Landscape Indonesia Agus P. Sari menyebutkan, terdapat sektor potensial yang dimiliki Indonesia dan bisa dikembangkan untuk menyambut era perdagangan karbon. “Dua sektor utama yang berpotensi untuk pasar karbon di Indonesia di antaranya sektor lahan dengan subsektor gambut dan mangrove. Kedua, sektor energi,” katanya saat jadi pembicara dalam Katadata Earth Day Forum 2021 yang digelar secara virtual, Rabu (22/4).
Meski demikian, sejumlah tantangan masih menjadi batu sandungan penerapan perdagangan jenis ini. Agus menilai, landasan peraturan menjadi sangat penting agar perdagangan karbon dapat memberikan keuntungan maksimal bagi negara. Di antaranya kebutuhan mengaturnya secara sektoral di setiap kementerian. Ia juga memperingatkan pentingnya debirokratisasi dengan melihat karbon ini sebagai komoditas baru, sehingga harus tunduk pada aturan pasar.
“Kita masih menunggu dua hal. Keputusan yang akan menjadi rulebook mengenai pasar karbon secara global, dan Perpres yang mengatur mengenai pasar karbon di Indonesia,” ungkapnya dalam sesi presentasi.
Sementara dua terakhir terkait transparansi rantai pasok dan investasi terkait perdagangan karbon. Sebagai investasi yang setara dengan jenis investasi konvensional, menurutnya regulasi pemerintah yang jelas akan menarik investor.
Adapun perdagangan karbon selama ini dijalankan melalui beberapa mekanisme. Di antaranya Clean Development Mechanism (CDM) yang diatur oleh Protokol Kyoto dan Joint Credit Mechanism (JCM). Pasca Perjanjian Paris 2015, wacana perdagangan karbon semakin menguat, termasuk di Indonesia.
Selama ini CDM dijalankan melalui mekanisme offset, yakni pihak pembeli memperoleh kredit Certified Emission Reduction (CER) dari proyeknya. Menurut direktur Utama Geo Dipa, Ricki Ibrahim yang juga menjadi narasumber di forum yang sama, CDM selama ini hanya dinikmati developer asing.
“Persiapan regulasi dan konsultasi harus ada. Dari segi konsultan misalnya, kami dulu harus mengeluarkan biaya lebih US$2 juta untuk menyewa dari luar (asing), dan ini menyedihkan,” kata dia. Walhasil, dengan naiknya tren perdagangan karbon dalam negeri ini bisa mendorong munculnya ahli serta regulasi nasional yang saling melengkapi untuk mendukung industri ini, ujarnya.
Ricky menambahkan, jika dilihat keseriusan pemerintah menuju transisi energi, perdagangan karbon bisa menjadi pelengkap dari upaya penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Sebagai bentuk upaya win-win solution, menurut dia, pemerintah harus menyatukan regulasi untuk mempermudah implementasi di lapangan sehingga hasilnya bisa optimal memberi manfaat kepada masyarakat.
Perdagangan karbon juga, kata dia, terbukti memberi manfaat baik dari segi ekonomi dan lingkungan. Dharsono Hartono, CEO PT Rimba Makmur Utama yang juga aktif dalam proyek Katingan Mentaya, proyek pendanaan karbon untuk mencegah perubahan iklim di Kalimantan Tengah, memaparkan manfaat perdagangan karbon dirasakan cukup nyata dalam 15 tahun terakhir.
Adapun dari proyek ini, dapat mencegah pelepasan GRK setara dengan 7,5 juta tCO2e dalam setahun. Proyek ini juga melindungi satu kawasan hutan rawa gambut utuh terbesar di Asia Tenggara, seluas lebih dari 157.000 hektar
Selama ini Rimba Makmur berfokus untuk bermitra dengan masyarakat, mendorong cara melakukan tranformasi untuk mengubah kegiatan deforestasi di masyarakat. “Bahu membahu supaya terjadi kenaikan produktifitas tanpa harus merusak hutan,” ujarnya.