Selasa 20 Apr 2021 18:15 WIB

307 Kasus KBGO Terjadi di Tahun 2020

Ada kekhawatiran dari para korban ketika melaporkan kasus tersebut ke kepolisian.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Agus Yulianto
Ilustrasi Kekerasan Terhadap Perempuan
Foto: Pixabay
Ilustrasi Kekerasan Terhadap Perempuan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Pelayanan Hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta, Uli Arta Pangaribuan mengatakan, pihaknya menerima 307 laporan kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Rinciannya sebanyak 112 kasus ancaman distribusi, konten ilegal sebanyak 66 kasus, upaya pemberdayaan korban  sebanyak 33 kasus.

Kemudian pelecehan seksual online ada 47 kasus, pencemaran nama baik ada sebanyak 15 kasus, kemudian penguntitan secara online 17 kasus, dan pengelabuan sebanyak 1 kasus. "Jadi tahun 2020 berdasarkan catatan LBH APIK Jakarta, kasus KBGO menjadi kasus kedua yang tertinggi setelah kasus kekerasan rumah tangga," ujar Uli dalam diskusi daring, Selasa (20/4). 

Uli mengatakan, penanganan kasus KBGO yang dilakukan LBH APIK Jakarta penyelesaiannya secara non litigasi mengingat lamanya proses di kepolisian. Ada sebanyak 115 kasus diselesaikan dengan cara mediasi antara pelaku dan korban. LBH APIK juga mengupayakan upaya somasi sebanyak 25 kasus. Kemudian meminta surat dukungan sebanyak 25 kasus, merujuk layanan psikolog sebanyak 95 kasus.

"Kemudian dari semua kasus yang 307 kasus itu, yang bisa dilaporkan polisi di tahun 2020 hanya sebanyak 5 kasus," ungkapnya.

Uli mengatakan, ada kekhawatiran dari para korban ketika melaporkan kasus tersebut ke kepolisian, maka korban juga akan dilaporkan balik tidak hanya dilaporkan balik dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), tetapi juga dilaporkan dengan UU Pornografi. 

"Kemudian ada 2 kasus yang sampai di kejaksaan, dan cuma 1 kasus di tahun 2020 kasus kekerasan berbasis gender online sampai proses persidangan," ucapnya. 

Uli menjelaskan ada sejumlah kendala dalam penanganan  KBGO. Pertama minimnya alat bukti dengan pola kasus yang rumit, kedua, penentuan yurisdiksi tempat terjadi tindak pidana. Ketiga terbatasnya ahli yang paham mengaitkan UU ITE dengan KBGO. 

Selain itu terbatasnya forensik digital yang dimiliki kepolisian sehingga forensik digital memakan waktu lama karena harus dilimpahkan ke Polda Metro Jaya. Kemudian korban ketakutan dan tidak mengenal pelaku juga menjadi kendala dalam menangani kasus KBGO. Terakhir, sidang kasus KBGO dilakukan secara terbuka, padahal pasal yang dikenakan pasal kesusilaan. 

Uli mengusulkan, agar revisi UU ITE yang saat ini tengah dirumuskan pemerintah memuat pasal agar korban dilindungi. Selain itu LBH APIK juga mendorong agar pelapor sebaiknya korban yang dirugikan secara langsung. Bukan malah orang yang melihat dan bisa melaporkan. 

"Kami mau adanya aturan hukum yang memang jelas mengakomodir kepentingan korban dengan mendorong rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual untuk segera disahkan," tegasnya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement