REPUBLIKA.CO.ID, Pandemi Covid-19 membuat masyarakat menjadi enggan pergi ke rumah sakit (RS). Kondisi itu juga dirasakan RS An-Nisa di Kota Tangerang, Provinsi Banten. Direktur RS An-Nisa Tangerang, dr Ediansyah menuturkan, ketika pandemi datang pada Maret 2020, kunjungan pasien ke RS menurun drastis.
Hal itu terjadi lantaran rata-rata pasien takut tertular Covid-19 jika ingin berkonsultasi dengan dokter di RS An-Nisa. Padahal, menurut Ediansyah, tidak sedikit di antara mereka yang berusia tua dan berstatus menyandang penyakit kronis.
"Impact-nya di RS An-Nisa Tangerang pada Juni (2020), kami kebanjiran pasien kronis dan komplikasi, mulai diabetes militus, hipertensi, yang datang sudah komplikasi akibat tak kontrol ke RS (sejak awal pandemi)," kata Ediansyah saat webinar bertema 'Telemedicine, The Future of Healthcare Industry' di Jakarta, belum lama ini.
Menurut dia, kondisi itu jelas sangat merugikan pasien maupun RS. Pasalnya, selama sekitar tiga bulan awal pandemi, pasien benar-benar tidak berkonsultasi dengan dokter. Akhirnya, terjadi akumulasi pasien yang menemui dokter pada periode waktu tertentu.
Hanya saja, kesehatan pasien sudah dalam taraf memburuk, lantaran sempat berhenti kontrol untuk beberapa pertemuan. "Mereka tak datang karena takut ke rumah sakit, padahal mereka menyandang penyakit kronis. Implikasi pasien tak datang ke rumah sakit cukup berat. Ini tak boleh terjadi. Teknologi yang menjadi jawaban," kata Ediansyah.
Masalah itu sebenarnya bisa diselesaikan jika pasien memanfaatkan layanan telemedicine. Menurut Ediansyah, layanan tersebut memang sudah ada di RS An-Nisa. Sayangnya, layanan tersebut belum bisa menjangkau pasien baru dan terkendala teknologi.
Selama ini, kata dia, praktik telemedicine baru dilakukan secara terbatas oleh dokter dengan menggunakan video Whatsaap maupun Zoom secara gratis. Itu pun dilakukan untuk pasien lama yang riwayat penyakitnya sudah terekam di RS An-Nisa.
"Pasien baru belum melakukan karena kita susah teknologi belum support. Ke depan teknologi luar biasa berkembang ini akan terus berjalan, rekam medis kita catat dan dokumentasikan, kalau ternyata ada telemedisine kita tak sarankan ke RS selama pandemi," katanya.
Ediansyah melanjutkan, masalah pasien yang mengaku takut ke RS hingga tidak konsultasi selama pandemi, membuka peluang layanan telemedicine berkembang. Sayangnya, teknologi yang diterapkan di RS sekarang belum bisa menjangkau semua layanan itu.
Dia mengilustrasikan, memang dengan video conference di Whatsaap maupun Zoom bisa saja pasien berkonsultasi dengan dokter RS An-Nisa. Meski begitu, obat yang dikonsumsi pasien tetap melibatkan apoteker dan wajib diambil. Belum lagi metode pembayaran, asuransi, hingga layanan antar obat ke rumah wajib terintegrasi.
Dengan layanan yang ada masih terpisah-pisah seperti sekarang, RS An-Nisa perlu membangun ekosistem lebih dulu. Ediansyah menambahkan, pihaknya juga perlu memikirkan keamanan data pasien karena semua prosesnya dilakukan menggunakan internet.
Apalagi, Ediansyah menegaskan, aturan yang ada mewajibkan yang bisa memberi layanan telemedicine adalah dokter praktik pribadi, dokter bekerja di RS, maupun klinik. Aturan itu merujuk kepada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Dengan begitu, praktik telemedicine di RS An-Nisa mengharuskan dokter ke tempat kerja, dan pasien bisa berkonsultasi dari rumah. Hanya saja, Ediansyah meyakini, telemedicine bakal berkembang luar biasa ke depannya. "Untuk ini kita mencari terobosan. Harapan kita bantuan teknologi semua proses ini bisa terintegrasi dan lebih mudah semuanya," ujar Ediansyah.
Hal itu jika BPJS Kesehatan memasukkan telemedicine ke dalam item layanan yang ditanggung. Padahal, perkembangan teknologi ditambah pandemi sangat memungkinkan layanan tersebut menjadi pilihan utama pasien dalam konsultasi kesehatan. "Sekarang tak booming, karena BPJS tak menjamin (telemedicine)."
Senior Vice President Pre Sales Lintasarta, Gidion Suranta Barus, mengatakan, pihaknya menawarkan Owlexa Healthcare yang membantu RS dalam menyediakan layanan telemedicine. Menurut dia, fasilitas tersebut bisa diterapkan di RS dengan memanfaatkan teknologi yang ada. Dengan begitu, pihaknya menawarkan RS agar bisa berkolaborasi mengembangkan telemedicine.
"Kami menyediakan semua dalam satu solusi, mulai bandwidth internet, IT infrastructure, kemudian aplikasi, dan jangan lupa kita berbicara internet, sehingga kami menjaga keamanan (data pasien). Tetapi semua ini menjadi satu kesatuan, datanya adalah data RS," kata Gidion.
Owlexa Healtcare adalah layanan bisnis kesehatan elektronik dalam aplikasi yang merupakan karya Lintasarta. Owlexa Healtcare saat ini memiliki 3.700 provider terdiri RS, klinik, apotek, optik, pesan antar, BPJS Kesehatan, hingga asuransi sekaligus.
Layanan Owlexa mencakup eligibility dan payment, case monitoring, dan verification claim sampai dengan pembayaran tagihan penyedia pelayanan kesehatan dan reimbursement ke anggota. Perusahaan dan asuransi yang memakai jasa Owlexa dimanjakan dengan pilihan 100 template reportering big data dan analiticy.
Sehingga, perusahaan, termasuk RS dan asuransi tak perlu lagi repot memberi penjaminan secara manual. Hal itu lantaran semua bisa dilakukan secara digital dan praktis. Selain itu, aplikasi tersebut membuat semua pekerjaan yang selama ini terpisah menjadi terintegrasi, baik dari segi infrastruktur teknologi informasi, jaringan internet kualitas tinggi, dan keamanan siber.
Owlexa juga memiliki layanan andal yang didukung teknologi terkini, yang dapat sesuaikan oleh setiap perusahaan dan asuransi. Layanan itu terdiri, front end tecnology, indemnnity, managed care, coordination of benecefit, evakuasi medis, penjaminan di luar negeri, yang menjadi keunggulan dan dibutuhkan RS.
"Ke depan reformasi digital keyword-nya adalah ekosistem. Bicara koneksi internet bicara keamanan, masing-masing pihak menjaga. Kita selain teknologi, menyediakan aspek proteksi keamanan melalui prosedur ISO 27001," kata Gidion.
Gidion pun mengutip data, selama penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), membuat penjualan layanan telemedicine atau konsultasi online tumbuh 600 persen dalam dua bulan. Angka itu didapat pada dua bulan awal pandemi dibandingkan periode sebelumnya.
Gidion juga mendapati, perusahaan maupun asuransi menyarankan peserta untuk memanfaatkan telemedicine selama pandemi dengan menghindari risiko terkena Covid-19 jika datang ke RS. "Tahun ini tiba-tiba lompat, baik secara platform maupun rumah sakit, meski saya tak mendapatkan angkanya," kata Gidion.
Dia menuturkan, beberapa RS sudah menyediakan layanan telemedicine. Pasien bisa registrasi dan mendaftar lewat Whatsapp dan baru bisa berkonsultasi dengan dokter. Bisa juga menggunakan Zoom yang membutuhkan koneksi internet ketika berhubungan dengan dokter di RS. Ada pula layanan yang lebih maju dengan menggunakan aplikasi, baik milik mitra RS maupun Lintasara.
Jika seperti itu, menurut Gidion, tentu manajemen RS perlu berpikir ulang karena selama ini sudah menyediakan jaringan internet dan masih perlu membeli server. Hal itu jelas tidak efektif dan efisien. Gidion pun menawarkan Owlexa yang memiliki keunggulan sistem sewa dan bisa langsung digunakan RS.
"Kalau berpikir cepat, sewa saja provider, sewa sekarang, besok sudah nyala (barangnya). Ketika demand tak sesuai prediksi bisa diturunkan, ketika meledak demand bisa ditingkatkan dengan cepat," kata Gidion.
Menurut dia, dengan menggunakan Owlexa maka RS sangat terbantu dalam memberi berbagai layanan yang memudahkan pasien. Pun semua riwayat penyakit pasien hanya bisa diakses oleh RS. Hal itu juga menguntungkan pasien yang bisa sewaktu-waktu berkonsultasi dengan dokter lewat telemedicine.
Sehingga kerja sama dengan Owlexa bisa dilakukan dalam periode per bulan. Jika Owlexa ternyata membawa manfaat bagi RS, kerja sama bisa diperpanjang. "Tapi kita senang bisnis (RS) tumbuh, kita tumbuh, (sehingga) tumbuh bersama," kata Gidion.