Kamis 15 Apr 2021 17:58 WIB

Pedas Manis Harga Cabai Rawit

Kurangnya pengawasan bikin banyak pasar komoditas mematok harga melewati batas wajar.

Petani menyemprotkan obat untuk mencegah penyakit patek yang biasa menyerang cabai rawit di saat musim hujan, di ladang cabai, Desa Mekarwangi, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Senin (8/3). Saat ini harga cabai rawit dipasaran cukup tinggi Rp 130.000 per kilogram dari harga normal Rp 30.000 per kilogram.
Foto:

Merosotnya produksi

Merosotnya produksi cabai rawit, antara lain disebabkan berkurangnya petani yang melakukan penanaman, kerusakan tanaman, serangan organisme pengganggu tanaman (OPT), dan banjir di beberapa wilayah sentra produksi. Ini memicu pasokan berkurang.

Penurunan luas tanam terjadi pada September hingga November 2020, ketika petani menahan diri tidak melakukan penanaman karena cuaca panas dan berkurangnya pasokan air, yang bisa menyebabkan munculnya berbagai penyakit/hama. Semua faktor itu bisa berdampak pada tanaman sehingga tidak berkembang/gagal panen. Selain itu, adanya konversi lahan, belum banyak petani yang menggunakan metode intensifikasi untuk meningkatkan hasil produksinya.

Metode intensifikasi pertanian sangat cocok diterapkan untuk daerah, dengan potensi pertanian yang sempit dengan cara mengelola lahan pertanian sebaik mungkin melalui pemilihan bibit unggul, pengolahan tanah yang baik, dan pemupukan yang tepat. Ditengarai, tidak menerapkannya metode intensifikasi dan kurang cermatnya petani memprediksi cuaca. Hal itu disebabkan pengaruh pendidikan yang masih rendah, tidak ada penyuluhan, dan permodalan.

Hasil Survei Struktur Ongkos Petani Hortikultura tahun 2018 Badan Pusat Statistik (SOUH 2018) untuk budi daya cabai rawit, pendidikan petani untuk kategori dasar (SD dan SMP) sebesar 60,18 persen, sementara yang berpendidikan SMA ke atas hanya 14,54 persen. Sisanya, 25,28 persen bahkan tidak mengenyam pendidikan atau tidak tamat SD.

Di samping itu, jauhnya usaha kemitraan antara petani cabai rawit dan pemerintah ataupun usaha swasta serta minimnya penyuluhan, menyebabkan petani kurang mendapatkan perlindungan. Dipotret SOUH2018 sebesar 98,70 persen petani cabai rawit tidak melakukan kemitraan dan 87,10 persen tidak memperoleh penyuluhan.

Karakteristik lain yang ditunjukkan adalah kecilnya bantuan pembiayaan, yang hampir 95,14 persen pembiayaannya dilakukan oleh petani sendiri, sementara besarnya serangan OPT terhadap budi daya cabai rawit sebesar 78,76 persen.

Hasil SOUH2018 juga menyajikan keuntungan petani dalam budi daya cabai rawit, sebenarnya bisa mencapai 63,41 persen per hektare setiap musim tanam. Biaya terbesar adalah tenaga kerja sebesar 55,40 persen dari total biaya yang dikeluarkan.

Hal tersebut bisa diartikan, ketika tidak dilakukan budi daya bukan hanya petani yang merugi, melainkan buruh yang membantu pun tidak mendapatkan pendapatan. Mungkin, saat ini petani sedang menikmati keuntungan dari tingginya harga cabai rawit sehingga meskipun belum saatnya panen dilakukan pemetikan. Bisa jadi, mereka akan mengalami kerugian pada saat puncak panennya karena harga akan anjlok.

Sesungguhnya, keuntungan terbesar kejayaan harga cabai rawit justru dikeruk pedagang hingga bisa melebihi 30 persen, sedangkan para petani tidak mendapatkan keuntungan signifikan.

Di sisi lain, kurangnya pengawasan ketat oleh pemerintah menjadikan banyak pasar komoditas mematok harga melewati batas wajar. Alih-alih tidak perlu dikhawatirkan karena dianggap naiknya harga cabai tidak akan lama dan akan turun sendiri dalam satu sampai dua bulan kemudian, menyebabkan terjadinya permainan harga di tingkat pedagang dan tengkulak.

Tampaknya peran pemerintah kurang nyata dan membiarkan siklus seperti ini berlangsung berulang-ulang. Untuk itu, diperlukan langkah-langkah strategis dan konkret yang merangsang petani untuk berani melakukan budi daya cabai rawit.

Misalnya, memperkuat sistem perbenihan dan perbibitan melalui teknologi yang menghasilkan bibit unggul yang tahan terhadap iklim dan cuaca, memperluas akses petani terhadap modal, serta keterpaduan antarsektor dalam pembangunan pertanian.

Di industri hulu, diharapkan mampu mengelola hasil pascapanen dengan penggunaan teknologi, seperti mobil pendingin dan gudang pendingin di sejumlah sentra produksi, mengingat cabai memiliki sifat mudah busuk. Dengan diberikannya fasilitas tersebut akan mampu menjaga cabai tetap segar sampai ke pembeli, harga cabai di tingkat petani pun bisa stabil dan menguntungkan.

Kunci penting lainnya adalah sentuhan kebi jakan pemerintah terkait harga. Tujuannya, agar setiap penduduk dapat dengan mudah mendapatkan komoditas cabai rawit, terjangkau, dan berkualitas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement