REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas terkait doa bersama lintas agama, mulai menuai polemik. Ketua Komisi Dakwa MUI, KH Cholil Nafis turut buka suara atas gagasan Menag tersebut.
Menurut Kiai Cholil, umat Muslim dilarang ikut mengaminkan doa yang dibacakan agama lain. Sehingga sarannya, berdoalah sesuai yang diajarkan dalam agama masing-masing.
"(Kalau) yang doa itu non-muslim (lalu) kita mengaminkan, itu hukumnya harom, jadi kalau mereka berdoa ya kita doa sesuai dengan keyakinan kita. Sesuai dengan ketentuan MUI Tahun 2005, hasil fatwa MUI," kata Cholil, Kamis (8/4).
Cholil menuturkan, bahwa doa dalam setiap kegiatan yang sudah berjalan selama ini, adalah sesuai agama masing-masing. Jika dalam suatu tempat tersebut tidak ada agama misalkan Budha dan Hindu, maka tidak perlu dipaksakan ada doa dari agama tersebut.
Biasanya, sambung Cholil, model doa bergantian ini terjadi dalam kegiatan yang melibatkan banyak unsur agama. Namun jika tidak, Cholil menyarankan, agar pembacaan doa cukup satu kali dan yang lain mengaminkan jika satu agama.
"Biasanya yang model doa bergantian itu kalau kita acara antaragama-agama, acara tertentu, cukuplah yang doa satu dan yang lain ngaminin yang agamanya sama. Yang lain, ya doa sesuai dengan ajaran agama masing-masing itu lebih efektif. Secara waktu, lebih efisien juga," terangnya.
Selain itu, tambahnya, jika ingin mendoakan bangsa Indonesia, maka tidak harus dilakukan secara simbolis. "Kita mendoakan bangsa tidak harus selalu dalam bentuk simbolis, kerukunan itu dari hati kita bersama-sama membangun bangsa ini," tuturnya.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 3/MUNAS VII/MUI/7/2005 tentang Doa Bersama
Ketentuan Hukum
1. Do’a bersama yang dilakukan oleh orang Islam dan non-muslim tidak dikenal dalam Islam. Oleh karenanya, termasuk bid’ah.
2. Do’a Bersama dalam nentuk “Setiap pemuka agama berdo’a secara bergiliran” maka orang Islam HARAM mengikuti dan mengamini do’a yang dipimpin oleh non-muslim.
3. Do’a Bersama dalam bentuk “Muslim dan non-muslim berdo’a secara serentak” (misalnya mereka membaca teks do’a bersama-sama) hukumnya HARAM.
4. Do’a Bersama dalam bentuk “Seorang non-Islam memimpin do’a” maka orang Islam HARAM mengikuti dan mengamininya.
5. Do’a Bersama dalam bentuk “Seorang tokoh Islam memimpin do’a” hukumnya MUBAH.
6. Do’a dalam bentuk “Setiap orang berdo’a menurut agama masing-masing” hukumnya MUBAH.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 21 Jumadil Akhir 1426 H atau 28 Juli 2005 M