REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polemik impor beras yang terjadi baru-baru ini menjadi cerminan buruknya koordinasi antar lembaga pemerintah. Hal itu sekaligus menandakan diperlukannya Badan Pangan Nasional yang fokus mengurusi kebijakan pangan. Pembentukan badan tersebut sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012.
Anggota Komisi IV DPR RI, Luluk Hamidah, mengatakan, pembentukan Badan Pangan Nasional semestinya dilakukan paling lambat tahun 2015 sejak regulasinya disahkan pada 2012 silam. Seiring berjalannya waktu, dinamika sektor pangan makin tinggi, sehingga akan menyulitkan pembentukan badan itu sendiri.
"Kita menagih janji pemerintah terkait ini karena hampir sembilan tahun tidak ada. Padahal, tantangan ke depan akan semakin berat," kata Luluk dalam sebuah webinar yang digelar Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, Kamis (8/4).
Luluk menilai, kebijakan pangan baik untuk di dalam negeri maupun yang berkaitan dengan impor, sering kali bertabrakan. Hal itu karena tidak adanya sinergi antara kebijakan di level hulu dan hilir sektor pangan. Padahal, seharusnya lembaga pemerintah saling memperkuat satu sama lain dalam menjaga kedaulatan pangan nasional.
"Terakhir seperti yang kita ketahu soal kebijakan impor beras. Kementan, Bulog, dan BPS menyatakan tidak ada situasi mendesak. Tapi di kementerian lain (Kemendag-Kemenko Perekonomian) tetap dinyatakan harus impor 1 juta ton meski ditunda sampai Juni," katanya.
Menurut Luluk, masalah impor beras itu bukan soal ditunda atau dibatalkan. Sebab, segala kemungkinan bisa terjadi jika pemerintah berkehendak. Namun, yang menjadi sorotan adalah proses pemerintah dalam mengambil keputusan dalam bidang pangan.
"Ketika masalah-masalah sederhana seperti ini tidak diputus, ini membuat kelembagaan pangan atau apapun namanya menjadi agak susah untuk diwujudkan," kata dia.
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah menambahkan, kelembagaan pangan yang diterjemahkan sebagai Badan Pangan Nasional harus punya fungsi kewenangan yang berorientasi pada ketahanan dan kemandirian pangan.
Pertama, kata Said, badan pangan harus punya kewenangan koordinasi. Ia mencontohkan, saat ini terdapat Badan Ketahanan Pangan yang menjadi bagian dari Kementerian Pertanian. Namun, lembaga tersebut tak punya fungsi koordinasi.
Fungsi koordinasi dimiliki oleh Kementerian Koordinator Perekonomian. Namun, dalam tahap implementasi lembaga itu juga tak punya kendali. Bahkan dalam hal penyediaan anggaran. "Harus ada kewenangan koordinasi yang dimiliki badan pangan," kata dia.
Selanjutnya, perlu ada kewenangan dalam hal anggaran yang memadai. Sebab, jika hanya sebatas berkutat pada regulasi nantinya tetap akan sulit dalam mengambil langkah kebijakan pangan. "Lalu yang terakhir harus ada kontrol dan keterlibatan publik," kata Said.