Selasa 06 Apr 2021 14:03 WIB

Vonis Ringan Djoko Tjandra Peringatan Bagi Penegak Hukum

Tuntutan dan vonis terhadap Djoko Tjandra dinilai terlalu rendah.

Terdakwa kasus dugaan pemberian suap kepada penegak hukum dan pemufakatan jahat Djoko Tjandra bersiap menjalani sidang dengan agenda pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (5/4/2021).
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Antara

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Senin (5/4) telah menjatuhkan vonis bersalah dan hukuman 4,5 tahun penjara serta denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan kepada Djoko Tjandra. Djoko Tjandra dinilai terbukti menyuap sejumlah penegak hukum terkait pengecekan status red notice dan penghapusan namanya dari daftar pencarian orang (DPO) dan pengurusan fatwa di Mahkamah Agung (MA).

Baca Juga

"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan, dan pidana denda Rp100 juta subsidier 6 bulan," kata ketua majelis hakim Muhammad Damis saat membacakan amar putusan.

Vonis ini lebih berat daripada tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Sebelumnya, penuntut umum meminta agar Majelis Hakim menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan terhadap Djoko Tjandra.

Dalam amar putusan, Majelis Hakim menilai Djoko Tjandra terbukti bersalah menyuap dua jenderal polisi terkait pengecekan status red notice dan penghapusan namanya dari DPO di Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.

"Terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama," ujar Hakim Damis.

Djoko melalui rekannya Tommy Sumardi memberikan uang kepada eks Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhubinter) Polri, Irjen Polisi Napoleon Bonaparte, sebanyak 200 ribu dolar Singapura dan 370 ribu dolar AS. Dia juga terbukti memberikan uang sebesar 100 ribu dolar AS kepada eks Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Polisi Prasetijo Utomo.

Suap diberikan agar Djoko Tjandra bisa masuk ke wilayah Indonesia secara sah dan tidak ditangkap oleh aparat penegak hukum lantaran berstatus buronan. Diketahui, Djoko Tjandra berencana mendaftar Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang menghukumnya dengan pidana 2 tahun penjara atas korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali.

Selain itu, Djoko juga terbukti menyuap eks Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi 2 pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan Kejaksaan Agung, Pinangki Sirna Malasari, untuk pengurusan fatwa MA. Fatwa itu dimaksudkan agar meloloskan Djoko dari hukuman MA dalam kasus korupsi hak tagih Bank Bali.

Djoko menyuap Pinangki dengan uang sebesar 500 ribu dolar AS. Hakim menerangkan uang itu merupakan fee dari jumlah 1 juta dolar AS yang dijanjikan Djoko. Uang itu diterima Pinangki melalui perantara yang merupakan kerabatnya sekaligus politikus Partai NasDem, Andi Irfan Jaya.

Dalam amar putusan, Hakim juga menyatakan bahwa Djoko juga terbukti melakukan pemufakatan jahat dengan Pinangki, Andi Irfan Jaya, dan Anita Dewi Kolopaking dalam pengurusan fatwa MA. Dalam permufakayan jahat ada uang yang dijanjikan sejumlah 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan MA.

Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof. Hibnu Nugroho menilai vonis majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta kepada Djoko Tjandra merupakan peringatan bagi penegak hukum. Menurutnya, tuntutan jaksa terlalu rendah.

"Kalau dilihat dari kualitasnya, sebetulnya (vonis yang dijatuhkan) masih kurang karena yang dilakukan Djoko Tjandra ini 'memutarbalikkan' terkait dengan suap kepada penegak hukum. Artinya, di sini kan (Djoko Tjandra) orang yang betul-betul mempunyai suatu keahlian khusus bagaimana menjadikan penegak hukum itu luluh integritasnya," kata Hibnu, Selasa (6/4).

Menurut Hibnu, masyarakat saat sekarang menghendaki adanya tuntutan dan vonis yang berat dalam kasus tindak pidana korupsi. Dalam hal ini, kata dia, vonis yang dijatuhkan majelis hakim paling tidak lebih tinggi dua kali lipat dari tuntutan JPU karena sekarang negara sedang gencar-gencarnya dalam pemberatasan tindak pidana korupsi, apalagi terkait dengan penegak hukum.

"Inilah (suap kepada aparat penegak hukum) yang saya kira sebagai sesuatu yang memperberat. Harusnya putusannya lebih berat, artinya hakim mungkin bisa melompat dari tuntutan 4 tahun menjadi 8 tahun atau 9 tahun," kata Hibnu.

Kendati demikian, dia mengakui jika dilihat dari tataran norma, vonis 4,5 tahun penjara itu tergolong cukup karena sudah melebihi tuntutan yang diajukan jaksa. "Akan tetapi, dalam tataran keinginan untuk menjadikan efek jera, ya, kurang. Itu jika dilihat dari berbagai sudut perspektif, tidak dari sudut pragmatis. Akan tetapi, dari sudut perspektif kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana korupsi masih kurang," katanya menjelaskan.

Akan tetapi, dari tataran formal penegakan hukum, kata dia, vonis yang dijatuhkan kepada Djoko Tjandra sudah melebihi dari tuntutan jaksa. Oleh karena itu, lanjut dia, vonis tersebut memberikan suatu peringatan bagi penegak hukum yang menuntut terlalu rendah.

"Tuntutan jaksa penuntut umum kan 4 tahun. Itu (vonis tersebut) artinya peringatan kepada penuntut umum untuk melakukan penuntutan yang betul-betul mencerminkan suatu bukti, mencerminkan suatu perkara yang sedang diperiksa, dan mencerminkan suatu kondisi Indonesia yang sedang gencar-gencarnya melakukan pemberantasan korupsi," katanya.

Kendati vonis yang dijatuhkan kepada Djoko Tjandra lebih tinggi daripada tuntutan jaksa, Hibnu mengatakan putusan tersebut masih jauh dari harapan masyarakat. Karena, menurutnya, perkara Djoko Tjandra bukanlah perkara biasa, melainkan berkaitan dengan penegak hukum yang notabene harus memberikan contoh kepada masyarakat.

Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menilai tuntutan dan vonis terhadap Djoko Tjandra terlalu rendah. ICW menilai, hal itu akibat dari problematika pada regulasi pemberantasan korupsi. Sebab, pasal yang menyoal tentang pemberi suap hanya dapat diganjar hukuman maksimal 5 tahun penjara.

"Padahal, model kejahatan yang dilakukan oleh Joko S Tjandra layak untuk dijatuhi vonis seumur hidup," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada Republika, Senin (5/4).

Kurnia menilai, selain telah melarikan diri dari proses hukum, Djoko Tjandra juga terbukti secara sah dan meyakinkan menyuap penegak hukum. Mulai dari Jaksa Pinangki Sirna Malasari, Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo, hingga Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte.

Bahkan, tindakan Djoko Tjandra yang dengan mudah memasuki wilayah Indonesia untuk mengurus pendaftaran Peninjauan Kembali ke Pengadilan telah meruntuhkan wajah penegakan hukum Indonesia.  Berangkat dari permasalahan regulasi ini, lanjut Kurnia, ICW mengusulkan agar ke depan, pembentuk UU segera merevisi UU Tipikor.

"Setidaknya untuk mengakomodir pasal pemberi suap kepada penegak hukum (jaksa atau polisi) agar diatur secara khusus," ucap Kurnia.

Misalnya, memasukkan pidana penjara maksimal seumur hidup. Agar ke depan, jika ada pihak yang melakukan perbuatan sama seperti Djoko S Tjandra, dapat dipenjara dengan hukuman maksimal.

ICW juga mengingatkan kepada Komisi Pemberantasam Korupsi (KPK) agar tidak hanya diam dan menonton penanganan perkara ini. ICW turut pula curiga terhadap surat perintah supervisi yang diterbitkan oleh KPK sepertinya hanya sekadar formalitas belaka.

"Sebab, sampai saat ini praktis tidak ada hal konkret yang dilakukan KPK terhadap perkara Joko S Tjandra," tegas Kurnia.

Terakhir, lanjut Kurnia, ICW menuntut agar KPK masuk lebih jauh untuk menyelidiki dan menyidik pihak-pihak lain yang belum diusut oleh Kejaksaan atau Kepolisian. Misalnya menelisik siapa pihak yang berada di balik Pinangki Sirna Malasari sehingga bisa bertemu dan menawarkan bantuan kepada Djoko Tjandra.

"Hal itu penting, sebab, sampai saat ini ICW masih meyakini masih ada oknum-oknum lain yang belum tersentuh oleh Kejaksaan maupun Kepolisian, " ujar Kurnia.

photo
Action Plan Bebaskan Djoko Tjandra Lewat Fatwa MA - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement