REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aksi teror yang terjadi beberapa waktu lalu mengagetkan banyak orang, karena melibatkan perempuan sebagai pelakunya. Seperti pelaku bom bunuh diri yang menargetkan Gereja Katedral Makassar adalah juga perempuan berinisial YSF. Begitupun pelaku teror di Mabes Polri juga seorang perempuan berinisal ZA.
Mengapa perempuan kerap menjadi pelaku aksi teror belakangan ini? Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi menjelaskan, aksi teror dengan pelakunya seorang perempuan, bukan kali pertama terjadi.
Pada serangan bom bunuh diri yang dilakukan tiga keluarga di Surabaya pada 2018, juga melibatkan perempuan serta anak-anaknya sebagai pelaku. Pada 2016, juga terhadap dua perempuan yang gagal melakukan aksi pengeboman di Jakarta dan bom bunuh diri di Sibolga.
Berdasarkan data tersebut, menurut Siti, keterlibatan perempuan sebagai pelaku teror menunjukkan dinamika yang mengkhawatirkan. "Karena sebelumnya keterlibatan perempuan umumnya sebagai pendamping suami atau pengikut setia yang memberikan perbantuan dan perlindungan. Perekrutan perempuan menjadi pelaku serangan kekerasan adalah taktik agar tidak mudah dicurigai untuk alasan keamanan," kata Siti kepada Republika,co.id pada Jumat (2/4).
Lebih lanjut Siti menjelaskan, untuk terpapar paham kekerasan seseorang dipengaruhi berbagai faktor. Dia mengatakan, terdapat faktor pendorong dan penarik yang saling mempengaruhi. Faktor pendorong terletak pada titik jenuh dimana kemudian seseorang mendapati perjumpaan dengan interprestasi ajaran intoleran dan radikal.
Kemudian, kata Siti, terdapat tiga faktor penarik yaitu relasi sosial-personal seperti suami isteri dan pertemanan, ideologi yang menarik untuk mengatasi titik jenuh dan faktor ekonomi bahwa sistem khilafah akan memperbaiki sistem ekonomi. Menurut dia, faktor penarik dan pendorong tersebut dapat terjadi baik pada lelaki maupun perempuan.