REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Selama beberapa dekade terakhir, negara-negara di dunia berlomba-lomba untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) untuk memenuhi kebutuhan energinya.
Namun, terjadinya peristiwa kecelakaan besar dan berdampak sangat luas seperti di Chernobyl, Uni Soviet (sekarang Ukraina) dan Fukushima, Jepang beberapa waktu lalu membuat pilihan menggunakan nuklir sebagai pembangkit listrik menjadi dipertimbangkan kembali.
Termasuk untuk Indonesia yang saat ini memasukkan nuklir dalam bauran energi. "Faktor keamanan salah satunya karena Indonesia berada di ring of fire. Perlu mitigasi, duduk bersama, apakah betul seaman apa? Negara sekuat Jepang aja luluh lantak akibat Fukushima," ujar Ir. Dwi Hary Soeryadi M.Mt., anggota Dewan Energi Nasional 2014-2019.
Hal itu disampaikan Dwi saat Webinar Renewable Energy: Indonesian Prospects & Alternatives Toward Clean Environment yang diselenggarakan Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin, Universitas Airlangga, Surabaya, akhir pekan kemarin.
Dwi mengatakan, selama ini yang heboh dalam pemberitaan di publik adalah terjadinya kecelakaan PLTN yang besar di atas level 5. Namun, kata dia, sesungguhnya insiden kecelakaan atau kebocoran yang lebih kecil juga sering terjadi.
Ia menjelaskan, paling tidak ada lima insiden kecelakaan PLTN yang fatal. Pertama insiden di Mayak, Kyshtym, Uni Soviet pada 29 September 1957. Kecelakaan PLTN level 6 ini menyebabkan kontaminasi zat radioaktif seluas hingga 20 ribu km persegi dan 10 ribu orang dievakuasi.
Kedua, pada tahun yang sama terjadi insiden di Windscale Fire, Inggris pada 10 Oktober 1957 yang masuk kategori level 5.
Ketiga, kecelakaan di reaktor nuklir Three Mile Island, Pennsylvania, AS pada 29 Maret 1979. Insiden kategori level 5 ini menyedor budget hingga 1 miliar dollar AS atau Rp14,5 triliun untuk mengatasinya hingga beberapa tahun.
Keempat, insiden di reaktor nuklir Chernobyl, Ukraina pada 26 April 1986. Kecelakaan nuklir yang masuk kategori level 7 itu menyebarkan zat radioaktif hingga 100.000 kilometer persegi. Pembersihannya menghabiskan biaya 16 miliar dollar AS atau sekitar Rp261 triliun.
Terakhir yang kelima tragedi Fukushima Daiichi, Jepang pada 11 Maret 2011 akibat gempa dan tsunami yang melanda kawasan tersebut. Kecelakaan nuklir level 7 ini membuat 160 ribu orang, penghuni belasan desa sekitar pembangkit harus dievakuasi. Diprediksi, pembersihan zat radioaktif akan tuntas dalam kurun waktu 30-40 tahun dan saat ini sudah menghabiskan biaya kerugian sebesar 21 triliun Yen atau Rp 2.772 triliun.
"Untuk Chernobyl itu 100 ribu kilometer persegi terkontaminasi. Nah, ini kalau misalnya berada di Pulau Jawa yang luasnya kira-kira 128.297 kilometer persegi, maka penduduk 130 juta jiwa akan mengungsi kalau ini terjadi di Pulau Jawa," ujar Dwi memberikan perbandingan.
Sebagai gambaran untuk mitigasi, tambah Dwi, luas Pulau Jawa 128.297 kilometer persegi dan jumlah penduduk sekitar 130 juta Jiwa. Pulau Madura luas 4.250 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 13,6 juta jiwa. Kota Surabaya luas 350,5 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 2,8 juta jiwa.
Indonesia sendiri, lanjut Dwi, sudah mempertimbangkan nuklir di masa depan melalui PP 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Perpres 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUES). Namun, nuklir menjadi opsi terakhir pemenuhan energi nasional.
"Saya sendiri di tengah, tidak pro atau kontra nuklir. Tapi kalau untuk keselamatan masyarakat, harus kita pertimbangkan," ujar Dwi.
Prioritas pembangunan energi nasional sesuai KEN dan RUEN, tambah Dwi, pertama adalah maksimumkan pemanfaatan energi terbarukan. Kedua, minimumkan penggunaan minyak. Ketiga, mengoptimalkan penggunaan gas bumi. Keempat, batubara sebagai andalan pasokan energi nasional (penyeimbang). Kelima, energi nuklir sebagai pilihan terakhir.
"Nah, di sinilah kalau dibilang sebagai pilihan terakhir, yang pro nuklir agak kurang nyaman karena menurut mereka energi nuklir bukan pilihan terakhir. Tapi, inilah yang ada di aturan berlaku yang seharusnya kita pegang," ujar Dwi.
Menanggapi pemaparan Dwi, Profesor Agoes Soegianto, pakar ekotoksikologi dari Program Studi Biologi Unair mengatakan, manajemen nuklir penting menjadi perhatian utama. Menurutnya, penerapan nuklir perlu dijalankan secara serius, penuh disiplin, dan kehatian-hatian sehingga segalanya terjaga.
"Saya termasuk yang tidak setuju PLTN sekarang. Selain kedisiplinan, habit masyarakat kita belum siap. Manajemen nuklir di Soviet yang menyebabkan kecelakaan Chernobyl saya kira mirip-mirip seperti di negara kita. Kalau Jepang atau Perancis mungkin memang lebih siap. Perlu ahli yang fokus menyiapkan ini," katanya.
Tanggapan berbeda disampaikan Profesor Dr. Retna Apsari dari Departemen Fisika Unair. Ia penasaran mengapa PLTN selalu menjadi wacana dan diskusi bertahun-tahun namun tidak juga diimplementasikan.
"Kalau memang dianggap menjadi alternatif yang baik mengapa sejak dulu tidak juga dipakai. Kalau mau ya memang harus dipasang misalnya di kampus walaupun kecil untuk membuktikan. Seperti PLTS sudah jalan di ITERA (Institut Teknologi Sumatera) 1 MW, di Unair juga segera menyusul," katanya.
Ulasan lengkap yang menyoroti perdebatan tentang Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Indonesia dituangkan Dwi dalam dalam buku berjudul "Pro-Kontra PLTN" yang diluncurkan dalam kesempatan tersebut.