REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS) menyampaikan eksepsi atau nota keberatannya atas dakwaan perkara kerumunan di Petamburan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada Jumat (26/3). Salah satu isi eksepsi menyoal keheranan HRS terhadap larangan ajakan beribadah.
HRS mengakui kehadiran massa di Petamburan, Jakarta Pusat pada 14 November 2020 karena dia mengundang masyarakat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. HRS mengklaim undangan tersebut dipublikasikan dengan niat supaya masyarakat memuliakan Nabi Muhammad SAW.
HRS memprotes kalau niatnya mengajak masyarakat beribadah malah disebut ajakan melakukan kejahatan. "Saya dan panitia maulid mengundang umat datang untuk memuliakan Nabi Muhammad SAW dan menjadikannya sebagai suri tauladan, bukan untuk menghasut umat melakukan kejahatan ya," kata Rizieq dalam pembacaan eksepsi yang dikonfirmasi tim kuasa hukumnya pada Jumat (26/3).
HRS memandang kepolisian dan kejaksaan sudah memfitnahnya lantaran menyebut undangan maulid serupa upaya mengajak orang guna melakukan kejahatan. HRS menduga suatu saat nanti ajakan beribadah bisa saja dicap sebagai kejahatan.
"Saya khawatir ke depan, adzan panggilan sholat ke Masjid, undangan kebaktian di Gereja, imbauan ibadah di Pura, Klenteng juga akan difitnah sebagai hasutan kejahatan berkerumun. Ini bisa akan menjadi kriminalisasi agama," ujar HRS.
HRS menuduh cuma golongan manusia tidak beragama saja yang menuduh ajakan beribadah sebagai hasutan menunaikan kejahatan. "Melalui sidang ini saya serukan kepada polisi dan jaksa, segera bertobat kepada Allah SWT sebelum kalian terkena azab Allah," ucap HRS.
Diketahui, HRS terjerat tiga kasus sekaligus. Dalam kasus kerumunan massa di Petamburan, Jakarta Pusat, HRS ditetapkan sebagai tersangka pada 14 November 2020 lalu. HRS diduga melanggar Pasal 160 KUHP. Kemudian pada bulan Desember 2020, HRS juga ditetap sebagai tersangka kerumunan massa di Megamendung, Kabupaten Bogor.
Dari kedua kasus tersebut, HRS dijerat dengan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan Pasal 216 KUHP.
Selanjutnya kasus terakhir, kasus di RS Ummi Bogor berawal saat HRS dirawat di RS Ummi dan melakukan tes usap pada 27 November 2020. Namun HRS melakukan tes usap bukan dengan pihak rumah sakit, melainkan lembaga Mer-C.