Kamis 25 Mar 2021 21:18 WIB

Kubu Moeldoko dan Tudingan 'Keluargais' ke SBY

Kubu Moeldoko bercita-cita kembalikan Demokrat jadi partai demokratis.

Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (kiri) bersama Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (kanan) menyampaikan keterangan pers terkait KLB Partai Demokrat di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Jumat (5/3/2021). Partai Demokrat versi KLB Deli Serdang mengatakan partai yang dibawahi SBY dan AHY mengarah ke tirani, otoritarian, dan keluargais.
Foto: Antara/Asprilla Dwi Adha
Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (kiri) bersama Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (kanan) menyampaikan keterangan pers terkait KLB Partai Demokrat di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Jumat (5/3/2021). Partai Demokrat versi KLB Deli Serdang mengatakan partai yang dibawahi SBY dan AHY mengarah ke tirani, otoritarian, dan keluargais.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Nawir Arsyad Akbar

Kisruh di tubuh Partai Demokrat belum juga selesai. Partai Demokrat (PD) versi Kongres Luar Biasa (KLB) kini menuding Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) otoritarian dan 'keluargais', dalam jumpa pers di lokasi proyek Wisma Atlet Hambalang, Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (25/3).

Baca Juga

"Partai yang mengarah kepada tirani, otoritarian dan 'keluargais' yang dilakukan SBY dan AHY harus diakhiri. Ini adalah bencana yang luar biasa bagi pembangunan demokrasi pascareformasi di Indonesia," kata Juru Bicara PD versi KLB Muhammad Rahmad saat jumpa pers. Menurutnya, melalui KLB di Deli Serdang yang menetapkan Moeldoko sebagai Ketua Umum PD, akan mengembalikan partai berlambang bintang mercy ini menjadi partai yang terbuka, demokratis, modern, dan santun.

"Bapak Moeldoko memiliki komitmen untuk menghapus ketentuan-ketentuan yang memberatkan kader dan memberikan rewards atau penghargaan kepada kader yang berjasa kepada partai," ujarnya pula.

Rahmad juga menuding SBY dan AHY telah membangun narasi yang menyesatkan melalui jubir-jubirnya. Antara lain menuduh Pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Istana telah terlibat, yakni menuduh Moeldoko membeli Demokrat. "SBY dan AHY juga telah memainkan playing victim, seakan-akan menjadi pihak yang terzalimi dan mencitrakan diri kepada masyarakat luas bahwa Demokrat dan demokrasi harus diselamatkan," katanya pula.

Dia juga menyebutkan bahwa SBY dan AHY telah melakukan tindakan-tindakan brutalitas terhadap kader Partai Demokrat di tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Caranya, dengan memaksa menandatangani surat-surat pernyataan yang disertai dengan nada ancaman.

"Kami memiliki keyakinan yang sangat kuat bahwa Bapak Menteri Hukum dan HAM tidak akan terpengaruh oleh pembangunan opini publik yang menyesatkan," katanya.

Politikus Partai Demokrat versi KLB, Max Sopacua, mengungkap pula alasan kubunya menggelar jumpa pers di lokasi proyek Wisma Atlet Hambalang. Yaitu untuk mengingat kembali masa lalu.

"Kenapa Demokrat KLB ini di Hambalang. Tempat inilah, proyek inilah yang menjadi salah satu bagian yang merontokkan elektabilitas Demokrat ketika peristiwa-peristiwa itu terjadi," ujar Max saat jumpa pers.

Menurutnya, sejak diusutnya kasus korupsi megaproyek senilai Rp 2,5 triliun itu oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), elektabilitas Partai Demokrat terus turun. Sebab proyek Hambalang menyeret para petinggi PD.

"Hambalang bagian dari sejarah yang menentukan yang menyebabkan Demokrat turun mulai 20,4 persen menjadi 10,2 persen dan 7,3 persen. Itu berturut-turut. Saya adalah pelaku sejarah," ujarnya pula.

Ia menuding, masih ada beberapa oknum kader Partai Demokrat yang turut menikmati hasil korupsi Wisma Atlet, tapi hingga kini belum diproses hukum. "Sebagian besar kawan kami yang terlibat sudah menderita, sudah dimasukkan ke tempat yang harus dimasukkan karena kesalahan, tetapi ada yang tidak tersentuh hukum yang juga menikmati hasil dari pembangunan ini, sampai hari ini belum. Mudah-mudahan segera ya," katanya lagi.

Sementara itu, Deputi Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrat, Kamhar Lakumani, mengaku memilih tak ambil pusing dengan kegiatan yang dilakukan oleh kubu Moeldoko. Ia menilai kubu Moeldoko memang menyukai sensasi.

Dipilihnya Hambalang sebagai lokasi konferensi pers juga disebutnya hanya cari sensasi. "Pilihan Hambalang pastinya untuk mencari sensasi. Darmizal dan kawan-kawan sangat gandrung sensasi. Semua argumentasi kecintaan dan niat baik untuk membesarkan Partai Demokrat justru bertolak belakang dengan apa yang mereka kerjakan," ujar Kamhar, lewat keterangan tertulisnya, Kamis (25/3).

Pernyataan-pernyataan kubu Moeldoko disebutnya hanya dilontarkan ketika elektabilitas Partai Demokrat sedang meningkat. Saat partai tengah sukses mendapat apresiasi dari rakyat, mereka justru bersekongkol dengan kekuasaan untuk merebut partai.

"Mereka malah berkomplot dan menjadi kaki tangan pihak luar untuk menggerogoti Partai Demokrat dari dalam demi rupiah dan kekuasaan. Bentuk pelacuran politik," ujar Kamhar.

Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI), Firman Noor, mengungkapkan sejumlah faktor yang menghambat soliditas partai politik di Indonesia pascareformasi. Pertama, adanya manuver dari elite politik yang menerabas aturan dan kepatutan partai.

"Hal itu dapat menimbulkan perlawanan. Manuver ini biasanya terkait dengan pengelolaan partai yang bersifat person beyond institution," ujar Firman dalam sebuah diskusi daring, Kamis (25/3).

Salah satunya terjadi kepada Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 2014. Saat terdapat dua kubu yang mendukung pasangan calon presiden yang berbeda, sehingga menimbulkan konflik yang berkepanjangan.

Fakor penghambat kedua adalah perbedaan pendapat yang tidak terjembatani oleh internal partai. Terutama dalam memakai aturan main, seperti alasan pemecahan dan legitimasi pelaksanaan forum-forum partai.

"Kenapa ini terjadi? karena elite merasa jadi owner partai dan dia mengelola secara person saja sehingga dia bisa melakukan kebijakan yang beyond institution. Justru inilah yang kemudian menjadi sumber konflik," ujar Firman.

Selanjutnya adalah tidak bekerjanya media arbitrase atau pihak yang menyelesaikan konflik internal partai. Ketika hal tersebut tak berjalan, masing-masing kubu yang berkonflik akan memiliki pandangan yang berbeda dalam melihat aturan partai.

Menurutnya, hal inilah yang terjadi pada Partai Demokrat saat ini. Ketika kubu Agus Harimurti Yudhoyono menganggap sah AD/ART 2020, tetapi kubu Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) justru memandang sebaliknya.

"Jadi ini memang pola yang terus berulang, setiap faksi itu merasa yang paling legitimate dan paling bisa membaca aturan main yang paling tepat," ujar Firman.

Faktor keempat, yakni adanya kesetiaan ganda pada kelompok atau patron tertentu. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya dualisme kepengurusan, saat dua kubu yang berkonflik saling mengklaim bahwa merekalah yang sah.

Lalu, pola kepemimpinan yang tidak merangkul dan tidak demokratis juga menjadi salah satu penghambat soliditas di internal partai politik. Terakhir, adanya intervensi kepentingan unsur eksternal, penguasa, dan aktor politik.

"Ini juga disebabkan oleh lemahnya ideologisasi dan loyalitas pada idealisme partai. Loyalitas lebih kepada patron ya, atau kelompok faksi-faksi di dalamnya," ujar Firman.

photo
DPD Demokrat yang Menolak Moeldoko - (republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement