Rabu 24 Mar 2021 16:32 WIB

'Sistem Pengelolaan Beras Bulog Berpotensi Maladministrasi'

Regulasi di hulu hilir ada yang macet dan tidak terintegrasi.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Agus Yulianto
Mencium beras impor medium  di gudang penyimpanan Bulog.
Foto: Antara/Septianda Perdana
Mencium beras impor medium di gudang penyimpanan Bulog.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ombudsman Republik Indonesia mengatakan, sistem pengelolaan cadangan beras pemerintah (CBP) yang disimpan di gudang Perum Bulog, berpotensi mengalami maladministrasi. Pasalnya, Ombudsman memandang adanya kebijakan hulu dan hilir yang tidak terintegrasi, sehingga menyebabkan penggunaan beras tidak optimal bahkan mengalami penurunan kualitas akibat tak terpakai.

Anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika, mengatakan, terdapat stok CBP di Bulog yang tengah mengalami turun mutu. Itu terjadi akibat disimpan terlalu lama imbas tidak adanya ruang penyaluran atau penjualan beras oleh Bulog yang memadai.

"Tidak adanya ruang penyaluran akibat Bulog tak lagi menjadi penyalur tunggal untuk program bantuan beras yang diberikan pemerintah kepada masyarakat kurang mampu setiap tahunnya," katanya.

Sementara Perum Bulog diharuskan oleh pemerintah untuk terus menyerap. Saat ini, Bulog harus memiliki stok beras setidaknya sebanyak 1 juta sampai 1,5 juta ton setiap bulannya.

"Ombudsman mencermati ada potensi maladministrasi dari manajamen stok bers Bulog akibat tidak ada kebijaka hulu dan hilir yang sesuai. Ini membuat ada beras turun mutu dan kerugian itu besar," kata Yeka dalam konferensi pers, Rabu (24/3).

Berdasarkan laporan terakhir Bulog dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi IV (15/3) lalu, terdapat beras turun mutu sebanyak 106.642 ton. Beras itu bersumber dari beras eks impor tahun 2018 yang masih tersisa sebanyak 275.811 ton.

Namun, Yeka mengatakan, potensi beras yang mengalami turun mutu di gudang Bulog bahkan mencapai 300-400 ribu ton. Itu berasal dari sumber impor juga hasil penyerapan dalam negeri. Adapun potensi kerugian yang terjadi bagi pemerintah bisa senilai Rp 1,25 triliun.

"Beras ini sumbernya dari masyarakat (petani), impor, lalu ditumpuk di gudang dipelihara, tapi tidak jalan mau dikemanakan. Dibeli, tapi berasnya jadi busuk, ini kan tidak masuk akal," kata Yeka.

Dia menambahkan, jika pemerintah berdalih beras tersebut untuk kebutuhan operasi pasar, faktanya harga beras sepanjang tahun lalu juga tetap stabil. Sehingga, tidak perlu dilakukan operasi pasar untuk menurunkan harga.

Oleh sebab itu, Yeka menilai, kewajiban yang dibebankan kepada Bulog dalam hal menyerap atau pengadaan beras tidak seimbang dengan ruang bagi Bulog menyalurkan atau memasarkan berasnya.

"Bulog menyerap, tapi tidak jelas mau dikemanakan. Jelas di sini ada regulasi yang tidak tuntas. Hulu hilir ada yang macet dan tidak terintegrasi," katanya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement