REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) melakukan survei mengenai persepsi dan sikap generasi muda. Khususnya, terhadap intoleransi dan ekstremisme yang menunjukkan bahwa tren penolakan kekerasan bermotif agama naik, tetapi mereka masih rentan untuk menjadi intoleran.
Dalam survei yang dilakukan terhadap 1.200 responden di enam kota besar seperti Surabaya, Surakarta, Bandung, Yogyakarta, Makassar, dan Pontianak pada 2020, mayoritas setuju bahwa kekerasan yang bermotif agama tidak dapat dibenarkan. Akan tetapi ketika dihadapkan pada pertanyaan seputar toleransi, banyak responden yang mulai bersikap gamang.
"Ada jarak yang menganga antara sikap yang tegas dalam menolak kekerasan bermotif agama dan sikap yang mulai abu-abu saat masuk ke isu toleransi," ujar Koordinator Penelitian INFID Ahmad Zainul Hamdi dalam 'Unjuk Bincang daring dengan tema Persepsi dan Sikap Generasi Muda terhadap Intorelansi dan Ekstremisme Kekerasan', Selasa (23/3).
Dari serangkaian pertanyaan-pertanyaan perihal kekerasan bermotif agama khususnya terorisme seperti pandangan terhadap serangkaian bom di Indonesia maupun serangan-serangan ISIS. Mayoritas mereka tak setuju dengan apa yang dilakukan para teroris.
Begitu pula dengan serangan bom terhadap gereja, sebanyak 78 persen menyatakan tidak setuju dengan aksi tersebut, empat persen setuju, sementara sisanya menyatakan tidak tahu. "Jika dibandingkan dengan tahun 2016, persepsi negatif terorisme naik selama empat tahun dari 79,7 persen ke 94,4 persen. Sebagian besar responden tidak menyetujui tindakan radikalisme dan kekerasan berbasis agama," kata dia.