REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Psikolog UGM Idei Khurnia Swasti mengatakan, ghosting merupakan perilaku menghindar yang biasanya terjadi dalam relasi seperti pacaran. Banyak terjadi pada masa pendekatan, ketika berpacaran atau menjelang pernikahan.
"Jarang dibahas mengenai ghosting dalam perkawinan sebab komitmen perkawinan telah lebih mengikat secara hukum dan personal. Perilaku ghosting ditandai sikap pelaku yang mulai menarik diri dari komunikasi," kata Idei, Selasa (23/3).
Dosen Fakultas Psikologi UGM ini mencontohkan, sulit ditemui menjadi salah satu tanda dari ghosting. Selain itu, tidak membalas pesan atau panggilan telfon, lalu memiliki banyak alasan untuk menghindar jika diajak berbicara serius.
Dia menilai, penelitian secara khusus terhadap fenomena ghosting memang perlu lebih banyak dilakukan. Apalagi, dari penelitian sebelumnya telah terlihat berbagai jenis kepribadian keterikatan dan pilihan strategi perpisahan.
"Bisa saja orang dengan tipe kepribadian menghindar (avoidant personality), yaitu mereka yang ragu untuk membentuk hubungan atau sepenuhnya menghindari keterikatan dengan orang lain," ujar Idei.
Kondisi itu sering diawali pengalaman penolakan orang tua. Akhirnya, membuat tidak mau sangat dekat dengan orang lain karena kepercayaan dan ketergantungan, sering memakai metode tidak langsung untuk mengakhiri hubungan yaitu ghosting.
"Sebab, lebih mudah dengan cara menghilang daripada menghadapi langsung karena menghadapi secara langsung akan membutuhkan upaya ekstra memberikan penjelasan, yang dapat juga memunculkan serangkaian konflik-konflik baru," kata Idei.
Koordinator Bidang Psikologi Klinis, Magister Psikologi Profesi, Fakultas Psikologi UGM ini menambahkan, ghosting juga bisa terjadi karena pelaku tidak tahu bagaimana cara mengomunikasikan konflik dan mencari resolusi konflik.
Kondisi ini biasanya diistilahkan malas membahas atau malas ribut, berpendapat masalah akan selesai sendiri seiring berjalan waktu. Kemungkinan lain, mereka merasa tidak nyaman menggantungkan masalah, dan lebih mudah bersikap seperti itu.
"Pemicu ghosting adanya perasaan tidak nyaman dalam relasi atau saat ada ketidakcocokan yang tidak bisa dikomunikasikan secara terbuka," ujar Idei.
Idei menekankan, alasan seseorang melakukan ghosting tidak bisa digeneralisasi.
Karenanya, jangan memberi label pelaku ghosting karena tidak benar mengetahui riwayat kehidupan dan dinamika psikologis pelaku sampai perilaku tersebut.
Pada dasarnya, lanjut Idei, ghosting merupakan penolakan, tapi tanpa finalitas. Jadi, tidak benar-benar ada kata selesai atau putus, dan terjadi saat seseorang berhenti menjawab teks atau panggilan telepon tanpa penjelasan lebih lanjut.
Perilaku itu menimbulkan berbagai dampak seperti membuat korban merasa bingung, sakit hati dan paranoid dikhianati ataupun menyalahkan diri sendiri. Perasaan tidak nyaman yang berkelanjutan dapat mengganggu fungsi hidup keseharian.
Misalnya, menjadi malas makan dan beraktivitas, tidak mampu berkonsentrasi, sampai penurunan performa kerja. Idei menyarankan, jika menjadi korban ghosting jangan merendahkan diri dan berhentilah untuk mengejar orang tersebut.
"Stop chasing for people, you deserve the best. Orang yang tepat untuk Anda akan mencari Anda dan bertanggung jawab atas tindakannya," kata Idei.