REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KAI Commuter sebagai pengelola kereta rel listrik (KRL) akan mewajibkan tiket Kartu Multi Trip (KMT) di 10 stasiun mulai 25 Maret. Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai kebijakan tersebut tidak adil.
“Dengan pemberlakuan ini, artinya tiket harian tidak berlaku lagi di stasiun tersebut. Dalam perspektif hak-hak konsumen sebagai pengguna KRL kebijakan ini tidak adil, karena memberatkan konsumen,” kata Tulus, Senin (22/3).
Sebab, kata Tulus, dengan mewajibkan KMT maka konsumen dengan tiket harian harus mengeluarkan uang minimal Rp 30 ribu untuk beli KMT. Sementara menurut Tulus, masih banyak pengguna lepas KRL yang tidak membutuhkan KMT karena hanya sesekali saja menggunakan KRL. “Oleh karena itu YLKI dan komunitas KRL Mania menolak kebijakan tersebut,” ujar Tulus.
Tulus meminta, KAI Commuter tetap memberlakukan tiket yang berlaku jangka pendek atau tiket harian. Untuk itu, Tulus menilai seharusnya KAI Commuter harus berupaya menyediakan uang kembalian sebagai antisipasi pengguna yang menarik sisa dana.
“Tidak hanya konsumen sebagai pengguna yang harus adaptif. Tapi operator pun mesti solutif dan adaptif. Bukan hanya melihat dari sisi kemudahan operator tapi mengabaikan sisi konsumen sebagai pengguna,” jelas Tulus.
Tulus mengatakan, di negara lain yang sistemnya sudah lebih baik masih menyediakan tiket eceran. Misalnya, lanjut Tulus di Singapura untuk tiket MRT kita bisa memilih tiket jangka pendek yang berlaku beberapa hari saja dengan tiket kertas, bisa diisi ulang, dan dana bisa di-refund.
“Harga kartu KMT Rp 30 ribu, harga jaminan THB Rp 10 ribu, ini mahal sekali. Dibandingkan dengan harga kartu di Singapura yang hanya beberapa sen saja. Padahal harga asli kartu KMT dan THB tidak semahal itu,” ungkap Tulus.
Tulus mengatakan, hal tersebut patut diduga KAI Commuter sengaja mendapatkan penghasilan dari penjualan kartu. Menurutnya, core business KCI menjual jasa transportasi sehingga tidak etis jika menangguk pendapatan dari dengan bisnis kartu.